[caption id="" align="aligncenter" width="400" caption="http://4.bp.blogspot.com/-jUw8qdyE01I/T_psVR4qWoI/AAAAAAAACuI/sjjRKH-i3fo/s400/ra-kartini-sekolah-cewek.jpg"][/caption]
Hari ini hari Kartini, seperti biasa saya ingin pula meninggalkan jejak dengan menulis sesuatu tentangnya. Inilah salah satu cara merekam jejak perjalanan pikiranku menyusuri waktu yang bergerak sangat cepat beberapa tahun terakhir ini. Dan saya tertarik dengan kecerdasan Kartini.
Menurutku Kartini bisa menjadi seorang pahlawan terutama bagi kaumnya karena ia cerdas. Dengan kecerdasannya ia mampu membaca situasi masyarakat pada zamannya, mampu bersikap kritis terhadap ketidakadilan yang menimpa kaumnya, serta memiliki keberanian untuk menggugat banyak hal yang menurutnya tidak sesuai dengan standar keadilan.
Kata orang bijak, jika ingin melihat kualitas seseorang lihatlah dari buku-buku yang dibacanya. Maka tak heran jika dalam sejarah kita akan menemukan tokoh-tokoh penggerak yang tak jauh-jauh dari ideologi-ideologi buku yang dibacanya. Sebutlah H.O.S Tjokroaminoto, Bung Karno, Bung Hatta, Tan Malaka, Bill Cilinton, dll. Mungkin jika dilakukan penelitian, maka akan kita temukan korelasi yang kuat antara jenis buku yang dibaca dengan ideologi yang diperjuangkan oleh seseorang.
Kartini, menurut sejarah adalah seorang pembaca dan pembelajar yang baik. Pada usia 12 tahun saat ia mulai dipingit, ia lalu melakukan korespondensi dalam bahasa Belanda dengan temannya Rosa Abendanon. Dari literatur-literatur (koran, majalah, buku) berbahasa Belanda tersebutlah ia mulai menyadari bahwa begitu banyak perbedaan antara kaumnya (bangsa pribumi) dan kaum Eropa di luar sana.
Di antara bacaan-bacaan tersebut ada surat kabar Semarang de locomotief, yang diasuh Pieter Brooshooft, ada majalah wanita Belanda De Hollandsche Lelie. Dan sebelum usia 20 tahun Kartini telah menamatkan buku Max Havelaar dan Surat-Surat Cinta karya Multatuli yang bahkan telah dibacanya dua kali. Di samping itu ia juga membaca Louis Coperus, De Stille Kraacht (Kekuatan Gaib), karya Van Eeden yang bermutu tinggi, karya Augusta de Witt, roman-feminis karya Nyonya Goekoop de-Jong van Beek, dan sebuah roman anti perang karangan Berta von Suttner, Die Waffen Nieder (Letakkan Senjata). (http://id.wikipedia.org/wiki/Kartini ) Secara pribadi saya belum pernah melihat wujud dari buku-buku tersebut. Namun secara spirit saya bisa merasakan semangat seorang Raden Ajeng Kartini. Dan siapa pun ia jika menjadikan buku sebagai teman perjalanan serta motivasi perjuangannya, maka dapat dipastikan wawasannya akan lebih luas yang dapat mengantarnya menjadi sosok yang bijaksana.
Jika merujuk pada generasi sekarang, bahkan saya pribadi yang nanti baru berkenalan dengan buku-buku “berat” pada usia 30-an tahun, maka tak heran jika transformasi pikiran nanti mulai terjadi pada masa-masa tersebut. Tapi itulah proses pembelajaran. Setiap lakon pasti berbeda antara satu dengan yang lainnya. Yang penting dalam proses penyadaran tersebut kita mampu melakukan percepatan yang bisa jadi akan membayar waktu-waktu yang tertinggal di belakang.
Namun satu keyakinan yang pasti, bahwa dengan buku dan aktivitas membaca, setiap orang akan mampu memberikan perubahan positif baik bagi orang lain terlebih bagi dirinya sendiri. Kartini sudah membuktikan itu. Semoga warisan semangat keilmuan Kartini mampu menulari setiap perempuan Indonesia saat ini dan saat-saat yang akan datang.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H