Saya senyam-senyum sendiri jika ingat hari ketika mulai mencanangkan “one day one article” beberapa hari yang lalu. Serasa seperti sedang bermain-main dengan kata dan kalimat dalam pikiran setiap ada kesempatan. Saya senang karena target menerbitkan 2 buah buku tahun ini bakal tercapai. Tercapai dalam artian, materinya sudah akan siap saat ia tiba di tangan editor.
Saya juga kadang merasa agak tegang, saat keesokan harinya ternyata saya belum punya ide. Meski bisa saja saya membuka file tulisan lama dan mencomot 1-2 buah untuk diposting di sini, namun rasanya tidak bakalan seru, karena ia bukan produk baru, meskipun tulisan tersebut berasal dari gagasan yang sudah lama.
Siapa pun tahu, di sini tidak ada bos atau pemimpin redaksi yang akan nagih-nagih tulisan kita saat telat nyetor, atau siapa pun yang akan mengoreksi tulisan kita, kecuali admin yang dengan setia menegakkan kode etik “mencantumkan sumber tulisan ataupun gambar yang bukan dokumentasi pribadi”.
Penulis hanya bertanggung jawab dengan tujuan pribadinya, moralitas kepenulisannya, dan etika yang bersangkut paut dengan dunia ini. Selebihnya silakan bereksplorasi dan berimajinasi sesukanya. Yang akan membaca pun punya selera yang akan menuntunnya membaca tulisan-tulisan tertentu yang ingin ia baca.
Menulis artikel di Kompasiana hampir sama dengan menulis status di Facebook. Beranda seseorang setiap hari, setiap jam, dan setiap menit dipenuhi dengan berbagai tampilan atau penawaran. Ia berganti setiap detik secara cepat. Para pembaca pun tidak mungkin membaca setiap status yang muncul. Selain tidak banyak waktu, jenis pilihan tema pun pastinya mempengaruhi pilihan mereka. Atau bisa juga karena sosok penulisnya yang identik dengan tulisan-tulisan yang bernas. Semua bisa menjadi bahan pertimbangan ketika ingin membaca tulisan seseorang.
Biasanya tulisan yang dilengkapi gambar lebih mudah dan cepat menarik mata pembacanya. Postingan di facebook pun seperti itu. Otak akan lebih cepat merespon jika disuguhi dengan gambar warna-warni. Karena dengan hanya melihat potongan gambar, interpretasi pun segera akan bermunculan. Berbeda dengan kalimat dalam bentuk tulisan. Ia butuh penjelasan yang agak panjang untuk menyampaikan suatu informasi.
****
Rasanya waktu 24 jam tidaklah cukup untuk semua aktivitas seorang ibu rumah tangga yang tiap Senin-Sabtu mengajar mengaji meski hanya 2 jam, yang sekaligus punya usaha sendiri. Itupun dengan jam tidur yang sudah terpotong-potong setiap hari. Tapi dengan modal “antusiasme yang besar” biasanya prosesnya akan jadi lebih ringan.
Bisa saja saya memilih menulis diam-diam setiap hari, disimpan sendiri, dibaca sendiri, namun kontrol dan disiplinnya kurang kuat jika dibandingkan nulis di sini. Jadi menurutku, menitipkan tulisan di Kompasiana ini adalah salah satu cara untuk mendisiplinkan diri, memaksa ide keluar setiap hari, melatih kemampuan merangkai kata dan kalimat yang lebih baik dari waktu ke waktu, meskipun mungkin yang membaca tidak banyak. Setidaknya, kepuasan karena berhasil menjalankan program ini tak kan tergantikan atau surut hanya karena tantangan-tantangan kurang pembaca, ataupun tidak pernah masuk kategori apa pun. ^_^
Semua kembali kepada tujuan semula. Menulis setiap hari untuk apa? Bagi saya menulis secara rutin banyak sekali manfaatnya: pertama menanamkan tradisi menulis sejak dini. Jika orang dewasa di sekitarnya tidak terbiasa dengan menulis (dimulai dengan tradisi baca), maka anak-anak kita pun akan mengikuti jejak yang sama, bahkan bisa jadi semakin menurun. Kedua, berlatih mengikat makna dengan menulis (istilah Mas Hernowo). Beliau menjelaskan lewat menulis seseorang akan mampu lebih mengenali diri sendiri, mengevaluasi dirinya, ajang berdialog dengan diri sendiri, , menulis dapat menjadi ajang berefleksi seseorang, dan yang paling menyenangkan adalah dengan menulis, seseorang mampu merasakan kebebasan dalam menuliskan ide-idenya.
[caption id="" align="aligncenter" width="341" caption="https://programatujuh.files.wordpress.com/2010/07/yuk-nulis1.jpeg"] [/caption]
Bahkan menurut Natalie Goldberg: "Sekadar menulis pun sudah surga."
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H