Mohon tunggu...
Mauliah Mulkin
Mauliah Mulkin Mohon Tunggu... ibu rumah tangga -

"Buku adalah sahabat, guru, dan mentor". Ibu rumah tangga dengan empat anak, mengelola toko buku, konsultan, penulis, dan praktisi parenting. Saat ini bermukim di Makassar. Email: uli.mulkin@gmail.com Facebook: https://www.facebook.com/mauliah.mulkin

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Seorang Laki-laki dengan Kantong Plastiknya

9 Oktober 2014   02:45 Diperbarui: 17 Juni 2015   21:49 97
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Beberapa malam yang lalu, sehari sebelum hari raya Idul Adha, seorang laki-laki dengan perawakan tinggi, tegap, berkulit gelap mampir ke toko kami. Ia berpakaian agak lusuh, baju kaos dengan celana panjang hitam yang kotor, sambil membawa ransel hitam kumal di punggungnya. Rambutnya yang  berombak tebal berantakan dengan mata yang sedikit cacat (ada katarak di mata kanannya) semakin menambah iba penampilannya.

Ia duduk di hadapanku sambil mengeluarkan sebuah kantong hitam dari dalam ranselnya. Ia menawarkan baju gamis perempuan dengan harga seratus tujuh puluh lima ribu rupiah. Dia memelas meminta saya membeli baju itu. Awalnya saya tidak tertarik sama sekali untuk membeli baju, mengingat baju-baju panjang saya pun masih banyak. Jadi saya hanya mengintip sedikit saja isi  kantongan itu, tanpa berminat sama sekali untuk membelinya. Ia terus berbicara, menceritakan kalau ia sangat butuh uang sebesar itu untuk membayar sewa kontrakannya yang telah habis empat hari yang lalu. Ia tinggal bersama ketiga adik perempuannya di daerah Sudiang (15 km dari tempat tinggal saya). Dan selama empat hari itu ia sudah berjalan jauh dari kontrakannya untuk mencari bantuan biaya sewa yang ia butuhkan. Sebenarnya harga baju itu katanya hanya seratus lima puluh ribu rupiah, tapi ia menambahkannya menjadi seratus tujuh puluh lima ribu rupiah karena biaya angkot yang sudah ia habiskan dalam menempuh perjalanan dari Sudiang ke kota.

Saya berusaha tegas menolak dengan halus, bahwa saya sedang tidak butuh baju saat ini. Namun nada suaranya yang memelas ditambah sorot matanya yang menimbulkan iba, akhirnya mendorongku untuk memberinya sekadar pengganti ongkos transport. Di luar dugaan ia menolak dengan tegas, bahwa ia tidak butuh dibantu dengan hanya diberikan uang ala kadarnya. Ia benar-benar ingin baju itu dibeli. Saya pun menambah lagi alasan, kalau besok kami sekeluarga akan mudik dan butuh uang juga untuk transport. Dia minta uang yang saya berikan tadi ditambah lagi. Ala maakkkk.......

Saya akhirnya mencukupkannya menjadi sepertiga dari permintaan awalnya. Dia masih mencoba negosiasi lagi. Meminta tolong saya menanyai orang rumah kalau-kalau ada yang bisa menambahkan jumlah uang yang sudah saya berikan. Saya sudah mulai agak tak sabaran dan sedikit kesal. Kenapa ini orang koq seperti maksa ya caranya? Tapi saya tetap masuk ke dalam rumah untuk meminta pendapat dari kakak yang sementara makan saat itu. Dia bilang, orang itu mau menipu. Tak usah diladeni. Lagi pula kenapa caranya maksa begitu? Saya juga mulai kurang simpati.

Akhirnya saya kembali menghadapi orang ini. Dengan tegas dan sikap yang mulai kurang bersahabat, saya terus terang bilang ke dia kalau saya betul-betul lagi tidak punya uang juga saat ini. Eh......dia minta bantuan lagi ke pengunjung toko yang lain. Sebelumnya dia minta ijin dulu untuk berbicara kepada orang tersebut. Dijawab oleh si pengunjung dengan sangat sopan, kalau dia juga masih mahasiswa dan saat ini belum ada kiriman datang dari orangtua. Meski sempat ngotot setelahnya, si tamu ini akhirnya minta diri dan segera keluar dari toko kami.

Walau kemudian seisi rumah sempat menyalahkan saya yang telah memberi uang kepada orang ini, saya hanya menjawab, “Sudahlah diikhlaskan saja, toh sudah terjadi. Mungkin memang benar ia orang yang sedang membutuhkan uang tersebut. Kalaupun salah sasaran, yang pasti niat kita untuk menolong orang lain sudah kesampaian.”

Kejadian yang sama sebenarnya sudah beberapa kali terulang. Tapi entahlah, mungkin kami (saya dan suami) adalah jenis orang yang mudah iba, kasihan melihat nasib orang lain. Sehingga sudah sulit membedakan mana yang benar mana yang pura-pura.  Yang paling sering mampir di benak kami ketika melihat orang yang menderita adalah bagaimana seandainya saya yang berada di posisi itu?

Beberapa hari kemudian, orang yang sama nampak berjalan dari ujung jalan daerah rumah kami, masih sambil membawa kantong plastik. Ketika melewati depan rumah, ia terlihat menunduk, seolah-olah tidak melihat kami.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun