Belum lama ini BPS mengeluarkan data bahwa pengangguran terbanyak justru dari lulusan SMK. Dengan slogan SMK Bisa Hebat ternyata secara realnya lulusan SMK belum mampu menjawab kebutuhan lapangan kerja di industri. Padahal sejatinya lulusan SMK dipersiapkan agar mereka dapat siap kerja dan siap pakai.
Ada tiga faktor yang mempengaruhi dinamika pasar kerja yang menyebabkan penyerapan tenaga kerja dari lulusan SMK lebih rendah dibanding lulusan SMA atau lainnya. Berdasarkan data dari kemendikbud tiga faktor itu adalah : yang pertama, jenis pekerjaan yang memerlukan ketrampilan yang lebih umum, yaitu kemampuan berpikir logis (sebagai kebalikan dari ketrampilan membuat barang dan jasa) meningkat. Yang Kedua, Adanya lonjakan peningkatan lulusan SMK masuk ke pasar kerja yang berdampak pada kelebihan pasokan lulusan SMK. Yang ketiga, Ketrampilan pekerja baru yang dibutuhkan dunia kerja berubah, sementara SMK memasok lebih banyak lulusan dengan jenis ketrampilan yang berbeda.
Atas dasar itu pemerintah berkomitmen untuk menjadikan pendidikan vokasi sebagai prioritas utama pembangunan pendidikan. Komitmen pemerintah ini tentunya adalah langkah baik dan perlu didukung dari semua komponen baik dari birokrasi, industri dan pelaku pendidikan. Sekalipun dalam implementasinya tidak mudah dan perlu perancangan yang benar-benar cermat, seperti sinkronisasi antara kurikulum nasional dan kurikulum industri langkah ini harus terus dilakukan.
Ke depan tantangan SMK akan lebih kompleks lagi, sementara harus diakui kualitas SMK yang ada di seluruh Indonesia masih minim. Dinamika peradaban manusia yang  begitu cepat berubah, belum menyentak para stake holder pendidikan secara keseluruhan untuk cepat tanggap mengantisipasinya. Untuk menjawab tantangan ini perlu mengintensifkan program-program pendidikan dengan lebih matang mengacu pada perubahan yang terjadi. Dan kita harus waspada di tahun 2030 Indonesia akan mendapat bonus demografi, mengapa? karena satu sisi jumlah angkatan produktif bertambah tapi satu sisi ada perubahan kesempatan kerja karena masuknya era digitalisasi.
Era digital telah menggeser lahan manusia untuk bekerja. Tenaga manusia sudah tergantikan dengan teknologi robotic maupun aplikasi. Kelemahan yang terjadi saat ini adalah kita sudah mengetahui adanya digitalisasi dalam kehidupan manusia tetapi tidak mengetahui bagaimana proses digitalisasi sebagai kesempatan untuk mendapatkan lahan pekerjaan.
Pergeseran perubahan kesempatan kerja ini harus disikapi oleh para stake holder pendidikan dengan menyusun mindset dan program bagaimana bangunan pendidikan di Indonesia dijalankan dan dapat beradaptasi lebih cepat dari perubahan yang terjadi.
Jika selama ini SMK mindsetnya adalah menghasilkan output yang berkualitas sehingga siap kerja dan terserap di dunia industri dan dunia usaha, maka kini sepertinya harus diperbaharui lagi. Lulusan SMK bukan lagi sebagai Job Seeker (pencari kerja) tetapi sudah Job Creation (menciptakan lapangan kerja).
Pertanyaannya adalah bagaimana sekolah menciptakan Job Creation untuk lulusannya? Pertama budaya di sekolah harus berubah dan didukung oleh program kepala sekolah serta guru dengan mentranformasikan program yang selama ini digunakan dengan menyesuaikan dinamika pasar kerja. Peran kepala sekolah disini amat penting dalam membuat serta mengimplementasikan visi dan misi sekaligus memastikan semua warga sekolah bergerak selaras mewujudkan program lulusan SMK yang mampu Job Creation. Kedua mata pelajaran kewirausahaan tidak bersifat teoritis tapi aplikatif dengan penggunaan teknologi yang berkembang saat ini. Ketiga, ketidakselarasan "mismatch" antara lulusan pendidikan kejuruan dengan ketersediaan lapangan kerja harus benar-benar dipikirkan secara kritis oleh sekolah dengan merevitalisasi jurusan yang ada dengan mengembangkan jurusan yang match dengan ketersediaan lapangan kerja atau memberikan jalan bagi lulusan yang Job Creation.
Disamping argumen-argumen diatas, ada hal yang tidak boleh terlupakan oleh sekolah. Multi Skill boleh saja diupayakan kepada setiap peserta didik. Tetapi harus diingat tanpa menyiapkan karakter kuat yang harus dimiliki peserta didik, sama saja membangun gedung tanpa pondasi yang kuat. Ditengah-tengah perubahan yang terjadi, selain kesiapan skill dibutuhkan karakter yang kokoh. Hanya karakter kuat dan kokohlah yang membuat manusia mampu bertahan dari perubahan dan minimnya kesempatan.
Inilah tantangan SMK kedepannya, dan tentu tidak mudah membangun SMK sebagai prioritas pembangunan pendidikan, banyak variabel-variabel yang harus dipersiapkan. Tetapi jika saat ini kita terus membangun kekuatan dan mindset ke arah yang lebih baik, maka diharapkan ketertinggalan Indonesia dari bangsa lain bisa teratasi. Seperti slogannya SMK Bisa dan SMK Bisa Hebat. Semoga
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H