Beberapa waktu yang lalu, saya menghadiri diskusi film di Institut Kesenian Jakarta (IKJ), judulnya “Produksi film naik, penonton film turun. Kenapa?” Hadi sebagai pembicara: Kemala Atmojo (Badan Perfilman Indonesia), Rudi Anitio (21 Cineplex), Ody Mulya (Maxima Pictures), dan Marselli Sumarno (IKJ).
Turunnya jumlah penonton film nasional diakibatkan oleh semakin pudarnya kepercayaan masyarakat terhadap film Indonesia. Masyarakat kita seringkali dikecewakan oleh film-film nasional yang kualitasnya buruk. Celakanya film-film yang bagus pun terkena dampaknya. Masyarakat menjadi apatis terhadap film nasional.
Pak Rudi Anitio dari grup 21 mengatakan bahwa jumlah penonton secara keseluruhan meningkat, namun jumlah penonton film nasional turun. Artinya, gairah masyarakat untuk pergi ke bioskop tetap tinggi, namun mereka lebih memilih untuk menonton film asing. Kesimpulannya, film nasional tak mampu berkompetisi dengan film-film dari luar.
Sejak masa keemasan film nasional pada tahun 2008, dimana Laskar Pelangi mampu meraup 4,6 juta penonton, disusul Ayat-Ayat Cinta dengan 3,6 juta penonton, jumlah rata-rata penonton Indonesia per-judul film menunjukkan trend yang terus menurun. Kondisi perfilman nasional benar-benar menkhawatirkan.
Namun menariknya, walaupun jumlah penonton turun, namun produksi film nasional justeru terus meningkat. Sekilas ini semua terlihat seperti “anomali”, namun jika ditelusuri lebih jauh fenomena ini memperkuat hipotesis bahwa masyarakat Indonesia tengah kehilangan kepercayaan terhadap film nasional. Mengapa?
Walaupun produksi film meningkat pertahunnya, namun jumlah total investasi-nya stagnan, bahkan cenderung menurun sebagaimana diungkapkan Pak Rudi Anitio. Berarti semakin banyak film nasional yang digarap dengan biaya rendah, yang berdampak pada penurunan kualitas. Hal ini sesuai dengan kenyataan di lapangan bahwa banyak film-film nasional yang dibuat asal-asalan dengan budget yang rendah. Mereka tidak peduli hanya tayang di bioskop sekejap, yang penting pernah tayang di bioskop, sehingga ketika mereka menjual film-film tersebut ke stasiun TV swasta, mereka bisa mengklaim bahwa film mereka adalah film bioskop, bukan FTV, sehingga harus dihargai lebih mahal. Mereka menggunakan senjata undang-undang yang mengharuskan keberpihakan pada film nasional, untuk memaksa bioskop-bioskop memutar film mereka. Jika tidak, maka bioskop akan dicap sebagai anti film nasional. Film-film yang tidak bermutu inilah yang memperburuk citra perfilman nasional di mata masyarakat. Tampaknya, sudah saatnya negeri ini memiliki “kurator” yang menyaring film-film mana saja yang layak tampil di bioskop, sehingga kualitas film nasional bisa terjaga.
Inilah sekilas kondisi perfilman nasional saat ini yang sangat memprihatinkan. Kita harus sadar bahwa uang yang digunakan oleh masyarakat untuk membeli tiket bioskop adalah “uang ekstra” yang harus mereka sisihkan dari pendapatan mereka. Tidaklah mengherankan jika masyarakat lebih memilih untuk menonton film luar yang sudah terjamin kualitasnya, daripada harus “gambling” menonton film nasional.
Ketika kami menggarap film "40 Days in Europe", kami sadar bahwa tantangan yang kami hadapi sangatlah besar. Kami tidak hanya dituntut untuk dapat berinovasi dalam proses produksinya saja, namun juga dalam hal pendanaan dan pemasarannya. Itulah mengapa, ketika Prasetiya Mulya Business School memilih Film 40 Days in Europe sebaga studi kasus Marketition tahun ini (http://pmbs.ac.id/marketition), kami langsung menyambutnya dengan antusias.