Mohon tunggu...
simaulss
simaulss Mohon Tunggu... Konsultan - Pengamat Lintas Ruang

Bercakap, Berjabat, Beramal

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Jengkel Boleh, Benci Jangan

18 November 2020   08:00 Diperbarui: 24 November 2020   15:50 109
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Indonesia adalah negara-bangsa yang luar biasa.  Dengan kekayaan alam, negeri ini mengoleksi nyaris sebagian besar flora dan fauna dunia. Lahir sebagai kesatupaduan yang unik, penduduknya tersusun dari beragam etnik dan latar belakang, memiliki puluhan kepercayaan lokal, ratusan suku, bahkan ribuan bahasa daerah. Kenyataan ini menegaskan bahwa Indonesia punya modal paripurna untuk menjadi pemimpin peradaban panggung dunia.  

Tentu saja, dibalik kenyataan menakjubkan itu, bangsa ini juga pernah mengalami sejarah besar dan perjuangan hebat mengarungi pasang-surut gelombang dinamika kehidupan bernegara. Riuh peluh tumpang-tindih selalui mewarnai lintasannya menuju cita-cita luhur. Jika kita lirik masa lalu negeri ini, kita dapati buah keteladanan yang amat heroik. Kisah yang dimulai dari perjuangan para sultan dan raja dengan kerajaannya, para ulama, kyai dan santri dengan pesantrennya yang pada saat itu masih bersifat kedaerahan, namun dilandasi semangat yang satu, yakni bebas dari perbudakan dan penjajahan. 

Kisah perlawanan  itu akhirnya memuncak. Semangat kebersamaan akhirnya melecut gairah masing-masing golongan untuk bersepakat, bersatu, bahu-membahu, bergandengan tangan untuk mengikat janji. Janji persatuan. Deklarasi itu dicetuskan pada tanggal 28 Oktober 1928 yang menyatakan sumpah. Bersumpah untuk bersatu dengan tanah air, bangsa, dan bahasa yang sama. Mengikat sumpah setia yang didasarkan pada perasaan tanggung jawab serta senasib sepenanggungan untuk merampas kebebasan, kehidupan dan hak yang layak bermartabat. 

Sejak itu, rajutan kebangsaan sedikit demi sedikit tercipta. Teror dan ancaman penjajah yang singgah silih berganti tidak mampu meredupkan sulutan bara energik pribumi yang menyalar besar saat itu. Masing-masing orang berkontribusi untuk negeri itu. Ada yang mengurus dasar hukum negara, ada pula yang sibuk menjaga perlindungan sembari berlatih mental dan kesiapsiagaan. Semua pribumi sangat bergelora untuk menghirup udara segar kemerdekaan. Hingga, tibalah, 17-8-45, Bapak Proklamator membacakan cita-cita negeri ini untuk yang pertama sekali, yakni kemerdekaan. 

Bahkan,tidak sampai disitu, setiap warga dengan kesadaran diri membentengi kedaulatan negerinya dari segala macam penyusup, pengkhianat yang bisa menghancurkan cita-cita niat awal untuk merdeka. Kita diberitahu sejarah tentang kepahlawanan itu. Gerakan separatis seperti Pemberontkan PKI 1948 dan 1965, Gerakan DI/TII, APRA, Andi Azis, serta RMS yang bisa menggoncang dasar negara, dapat diberantas oleh para pendahulu kita saat itu.Nampaknya, saat itu para pendahulu masih bergelora menjaga keutuhan negara. 

Di era globalisasi ini, keutuhan kita sebagai bangsa yang majemuk mengalami tantangan amat dahsyat. Dalam, luar, atas bawah, depan belakang, kapan saja kita dihampiri kejengkelan yang tak berkesudahan. Kalau saja kita kecewa, berang, terhadap riah-riuh problemaika negeri ini, tumpahkanlah, keluarkan, tetapi jangan sampai menghilangkan rasa cinta ke negara. Kalau-kalau sampai lupa, ingat-ingatlah, renungilah janji setia sumpah pemuda itu, bahwa semua anak bangsa, bagaimanapun adalah juga bagian dari kita.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun