Awal Bulan Juli kemarin, Saya dapati postingan sejawat yang memotret pertemuan antara Rektor UIN Jakarta dengan perwakilan pengurus UKM. Agenda utamanya silaturahmi berikut arahan dan harapan Bu Rektor untuk mengembangkan kegiatan tiap UKM.Â
Diantara dialog yang menarik muncul ketika Bu Rektor menanyakan perihal korelasi SDG's 2030 dengan perwakilan pengurus UKM, termasuk UKM Lembaga Dakwah Kampus. Lebih dalamnya, dalam bahasa lain, bagaimana para mahasiswa yang aktif dalam syiar-syiar Islam ini dapat berkontribusi dalam SDG's? Â
Pertanyaan Bu Rektor ini sesungguhnya, jika mau diulur panjang, representatif dan strategis bagi negara Indonesia yang mayoritas penduduknya merupakan Muslim. Bagaimana dan sejauh mana Islam bisa dijadikan pijakan bagi kehidupan berbangsa dan bernegara?Â
Hingga kemudian, di caption postingan itu, Bu Rektor memisalkan jawaban "ketenangan batin", bahwa nilai-nilai Islam mendongkrak titik kesadaran bagaimana seharusnya seseorang berpikir dan bertindak. Â
Bulan Agustus kali ini, Indonesia merdeka yang ke-74. Beragam bentuk perayaannya dapat mudah kita temukan. Diantaranya tasyakuran kemerdekaan. Pejabat publik bersedia menyelenggarakannya untuk merenungi, mendoakan, dan menjadikannya sebagai acuan religiusitas bernegara.Â
Dengan momen tasyakuran, melalui pejabat pemerintahan, negara mengajak bangsanya mensyukuri karunia kemerdekaan, negara mendorong masyarakat agar memandang kemerdekaan sebagai keberkahan-Nya, negara menyadari betul bahwa kemerdekaan erat kaitannya dengan sifat rahman dan rahim-Nya.Â
Itu  pula yang menjadikannya banyaknya unsur ketuhanan yang terdapat di konstitusi kita hari ini. Hal lain yang semakin membuktikan upaya negara menjaga agama dengan sungguh-sungguh adalah kegiatan perenungan suci di taman makam pahlawan.Â
Baik pemerintah pusat maupun pemerintah daerah, tradisi ini melekat setiap tanggal 16 Agustus malam. Maknanya, generasi hari ini berterima kasih dan mendoakan mereka yang berjuang di masa lalu, yang karena jasa-jasanya, generasi hari ini bisa hidup tenang. Â
Dewasa ini, pejabat publik, yang merepresentasikan negara telah bersedia menerapkan praktik keagamaan. Apakah itu formalitas belaka yang sekadar menjalankan peraturan atau sungguh-sungguh menjiwai simbol religisiutias?Â
Mengingat di zaman orde baru agamawan agak kesulitan mengekspresikan diri, yang jelas ini adalah transformasi  yang mesti diapresiasi, di mana posisi agama semakin mendapatkan tempat melalui pimpinan lembaga.Â
Saya berasumsi, ke depannya, praktik keagamaan akan semakin menggeliat hebat, terlepas dari apapun motifnya. Mulai dari formalisasi pejabat negara di hari-hari keagamaan hingga praktik kesalihan yang meluas baik karena digitalisasi maupun peran figur. Â