Mohon tunggu...
Maulana Saputro
Maulana Saputro Mohon Tunggu... Human Resources - Mahasiswa Universitas Airlangga

Olahraga bulutangkis, ngedit video, ngedit foto

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Tamasya Kota Pernia

22 September 2023   21:37 Diperbarui: 23 September 2023   00:30 182
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dibacaan ke-2 ini tokoh aku bertemu dengan hantu ceking, jangkung,bertopi runcing seperti penyihir kulit mukanya keriput. Hantu itu perempuan, dia mirip nenek sihir Nirmala namun ia tak cerewet. Di bab ini tokoh aku berjumpa dengan karakter horor yang unik-unik dari hantu yang bergelantungan di langit-langit hingga menemui nenek, kakek, buyut, bao, janggawareng, udeg-udeg, gantung siwur, bau sinduk, Sunan Ambu, dan Nini Anteh sang penjaga bulan. Banyak sekali tokoh-tokoh baru yang muncul.

Dibacaan ke-2 ada lagu yang sering dinyanyikan yang liriknya “Bulan tok, bulan tok, bulan segede batok” nyanyian itu sering dibisikkan oleh ibu ketika sedang memandang purnama dari jendela kamar. Tokoh aku ini ingin melompat ke punggung bayangannya punggung kucing Chandramawat ikut ingin bermain acrobat, jampitan, mendaki tembok dinding, keluar masuk potret-potret hitam putih, bergelantungan di langit-langit, berayunan di lampu antik, dan meloncat masuk ke dalam jam. Membayangkan mereka bermain seperti itu membuatku tidak bisa berpikir lagi dengan tingkah dan perilaku mereka. Lagu “Bulan tok, bulan tok, bulan segede batok” membuat Nini Anteh gembira, karena nyanyian itu tentang bulan. Rumah abadinya.

Di rumah tokoh aku, hantu itu sedih, Nini Anteh itu, tetap berdiri di depan pintu. Mirip boneka tak bergeser sedikit pun dan matanya masih menatap ke arah mata tokoh aku. Padahal mata tokoh aku masih berlarian mengejar gerak nakal Candramawat. 

Seorang ayah dan ibu muncul bersamaan di kamar depan dan kamar tengah sambil teriak “Matikan lampunya! Cepat tidur, ini sudah larut malam!”. Spontan tokoh aku menempelkan jari ke bibirnya untuk memberi isyarat agar seisi ruang tengah diam. Tetapi tokoh aku ini lupa, karena taka da yang bersuara. Padahal yang bersuara sejak tadi hanya tokoh aku yang bernyanyi dan jam sesekali berdentang. Hantu dan bayangannya, Nini Anteh dan Chandramawat tidak memiliki suara. 

Tapi sebenarnya tokoh aku benar-benar lupa, kalau taka da ayah di kamar depan dan tak ada ibu di kamar tengah. Ayah dan ibu nya sudah tidak ada. Sungguh kasihan dan prihatin tokoh aku ini karena ayah dan ibu nya sudah tidak ada. Di kamar itu hanya ada ranjang, Kasur, bantal, dan potret serta sebuah mesin perekam suara. Mereka sengaja merekam suara mereka, dan akan terdengar waktu yang bersamaan. Ayah dan ibu nya selalu pulang pagi dan melambaikan tangan lalu pergi tidur ke kamar masing-masing.

Pada bab 3 ini, mengisahkan tentang Revolusi. Revolusi dalam artian dalam cerpen ini yaitu tentang tokoh aku yang memiliki kenangan dengan kekasihnya, namun kenangan sudah berlalu cepat. Dia teringat  kamarnya, rak bukunya, serta buku-bukunya. Seperti bagaikan ribuan sungai yang mengalir tanpa letih. Ia sangat mencintai kekasihnya itu, sampai-sampai ia hanya mengingatkan kekasihnya saja, tidak membayangkan apa-apa, selain bersama ada di samping kekasihnya.

Tetapi kekasihnya sudah pergi entah kemana atau meninggal dunia. Kini hanya kenangan tentang kekasihnya yang begitu deras membanjiri inci pikirannya. Tokoh aku hanya bisa mendekap sebuah buku yang dia ambil dari rak buku kekasihnya sekian tahun silam lamanya. Bukunya masih ia simpan di bawah bantal, dan ia peluk bukunya hingga tidur. Bukunya tebal berwarna merah dengan jilidan yang keras yang selalu mengingatkannya pada warna bibir kekasihnya. Ia tidak peduli dengan isinya, walaupun ia tak pernah membacanya. Semenjak kehilangan kekasihnya, ia kecanduan melihat televisi. 

Menatapi lekat-lekat setiap berita yang ia lihat, berharap ia masih melihat sosok kekasihnya dengan binar matanya di Mesir, gerai rambutnya di Libya. Anehnya, ia sering berdebar-debar ketika setiap kali tenggelam di dalam berita-berita tersebut. Seperti melihat dirinya diantara sorai-sorai demonstrasi, kerumunan massa, poster-poster, bangunan yang terbakar serta senapan-senapan yang mengancam. Tak henti berlarian dari satu channel ke channel yang lainnya, ia tetap mengejar kekasihnya.

Pada saat gaduh teriak-teriakan, ia pernah tertegun dan menangis tiba-tiba, ketika ia melihat gambar peti mati korban demonstran di sebuah majalah koran. Di dalam bayangannya ia menangkap jasad kekasihnya. Saat di kamar kekasihnya, ia mengenang bahwa dirinya suka mengumpulkan lagu tentang kekasihnya dan sering memeluk gitarnya disbanding memeluk pinggang kekasihnya.

Ada banyak banyak malam yang menjelma api. Berkobar-kobar, namun ia lebih mengenang kekasihnya ketika ia menggigil dalam kesepian. Bersandar di tembok kamarnya yang dingin. Dirinya bertanya mengulang kali bertanya apa artinya kehidupan. Lalu kekasihnya meminta minuman keras murahan yang sedang dicicipi, lalu memintanya untuk menyanyikan lagu Nina Bobo. Ia begitu menyentuh.

Di kamar kekasihnya, ia ingin mendengarkan lagu baru kekasihnya, begitu pintanya ia sambil memeluk punggung, dan memainkan telinga. Tapi lebih banyak malam lagi yang menjelma api. Berkobar-kobar apa saja. Genggaman bola api yang akan ia lemparkan kepada penguasa semesta alam.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun