(Seri kedua)
Oleh: Kyai Noto Sabdo Nderek Sunan Kali
(Tulisan ini dikirim lewat kurir ke redaksi Save Mataram Islam)
Assalamungalaikum
Salam waras sederek sedoyo. Saya berterimakasih kepada semua orang, terutama penganut Islam Jawa atas apresiasinya terhadap tulisan saya sebelumnya, Soal Menebak Sabdaraja Sultan HB X dan J. Kristiadi. Dalam tulisan saya itu, saya telah menyebutkan bahwa pertarungan kultural di dalam kraton Mataram, terjadi antara para fundamentalis Kasebul dan kalangan muslim Jawa. Kalangan muslim Jawa semakin terdesak, dan sebagian yang tidak kuat, kemudian beralih haluan. Keterdesakan ini dipicu oleh Fundmentalis Kasebul, yang kuat baik dari sudut dana ataupun cantelan kekuasaan yang bermain secara kasar, yaitu di sekitar permaisuri Kraton.
Merespon fenomena itu, dan masih berkaitan dengan Sabdaraja itu, beberapa waktu lalu, tepatnya hari Minggu (17 Mei 2015), di tugu Golong Gilik Jogjakarta, kembali JNM (Jamaah Nahdliyin Mataram) menggelar acara. Kali ini bertajuk Ruwatan Bumi Mataram dan Mendoakan Sri Sultan Hamengku Buwono X (bukan Bawono). Dalam pernyataannya, pada item 3, JNM  menjelaskan: Mengajak secara baik-baik kepada kelompok jaringan tertentu yang ingin menjadikan mataram Islam-Jawa diubah fondasinya sebagai Mataram yang bukan Islam-Jawa, untuk segera kembali ke jalan yang benar sesuai dengan dunia batin dan sejarah kraton Mataram; untuk segera menempuh jalan berbudi dengan tidak mengkhianati persahabatan; dan untuk segera bersama kembali menjaga  keharmonisan yang telah terjalin baik selama ini.
Dengan tepat JNM mampu mengendus kekuatan yang ada di Kraton. Tentu JNM memiliki informasi yang cukup untuk sampai pada kesimpulan demikian. Ini cocok dengan apa yang telah saya tulis dalam Menebak Sabda Raja Sultan Hamengku Buwono X dan J. Kristiadi. Hanya JNM tidak secara eksplisit menyebutkan siapa kelompok itu.
Merujuk tulisan saya sebelumnya, dan informasi yang saya terima dari para desertir Kasebul, kelompok itu adalah para fundamentalis Kasebul di kalangan Katholik. Mereka ini, berkepentingan hilangnya Keraton Mataram yang bersandarkan pada Islam Jawa, yang hal ini sebenarnya tidak disetujui oleh para intelektual Katholik lain yang baik.
Fenomena ini juga belum diungkap dalam tulisan Ninoy Karundaeng, yang menganalisis Sabdaraja, dalam tulisan Sabda HB X Akhiri Mataram., dawuh Allah dan ambisi GKR Hemas (Kompasiana.com, 9 Mei 2015). Meski begitu Ninoy dengan telak menyebutkan ambisi kekuasaan Tatik Drajad (adalah nama permaisuri sebelum bergelar GKR Hemas) yang memang sangat kuat, yang mensyaratkan menjadi permaisuri kraton ketika menjadi istri Sultan itu, bisa menjembatani untuk melihat hapusnya Mataram Islam ini. Lingkaran fundamentalis Kasebul yang bersandarkan pada sang permaisuri inilah yang menjadi kelompok kepentingan kuat, terutama dari segi dana. Lingkaran ini, dengan tidak malu-malu, dapat dibaca misalnya dalam diskusi (13/5/2015) di gedung Dewan DPD Jakarta. Jaringan ini, lewat J. Kristiadi yang juga menjadi salah satu rujukan pembicara di situ; ditambah Paulus Yohanes Sumino, menjadi pengartikulasi dari kelompok ini. Bahkan Paulus Yohanes Sumino mengkritik dengan keras mereka yang ingin menjelaskan Sabdaraja dan tidak mau menerimanya, dan dia menyumpahinya: Kalau begitu bisa kualat nanti (m.suara.com., 13 Mei 2015).
Sungguh aneh, sebuah Mataram Islam, ketika didiskusikan di DPD tidak ada representasi dari kalangan muslim Jawa. Itu saja sudah menjelaskan kuatnya arus ini dan kekasarannya dalam bermain. Mestinya, permainan dari kalangan fundamentalis Kasebul ini tidak vulgar begini, karena ini benar-benar melukai kalangan muslim Jawa yang toleran, dan khususnya menjadi penyangga bumi alas Mentaok. Tampaknya mereka ini sudah kesurupan  setan, sehingga bermimpi bahwa dalam jangka panjang antara 50-100 tahun Jawa sudah bisa menjadi Katholik dengan cara inkulturasi, yang keyakinan itu juga dipicu oleh kuatnya basis kultural di gunung gunung dan perbukitan di sekitar bumi Mataram. Mereka dalam jangka itu ingin dikenal para pahlawan Katholik Jawa.
Di tengah eksistensi Kraton Mataram di alam demokrasi dan berintergrasi dengan Republik, mudah sekali untuk menjelaskan bahwa cara-cara fundmentalis Kasebul ini sangat vulgar dan kasar. Andai Kraton Yogyakarta masih memiliki persenjataan lengkap, seperti jaman dulu, fantasi mereka untuk menghapus  Kraton Mataram Islam yang berbasis Islam Jawa ini, mungkin akan dibarengi dengan pertumpahan darah. Tetapi mereka menyadari situasi zaman sekarang berubah dan kraton tidak memiliki penopang itu. Dan yang penting, bagaimana mengambil simbol Mataram Islam dari tangan muslim Jawa.