Hal semacam itu dicoba lagi, untuk mencarikan panggung GKR Hemas di Muktamar NU di Jombang. Di tengah-tengah acara Muktamar, tersiar kabar bahwa GKR Hemas akan berbicara di Mubes Kaum Muda NU yang diadakan berbarengan dengan Muktamar NU, berlokasi di Tambakberas. Informan saya dari kalangan berbagai aktivis muda Nahdliyin yang konsen terhadap isu ini, langsung saja bergerilya. Mereka menyebutkan bahwa GKR Hemas akan berbicara di acara Mubes Kaum Muda NU, hanyalah omong kosong sengaja dihembus-hembuskan untuk menaikkan citranya di kalangan Nahdliyin. Caranya, seorang pion lain bernama Loly, menghubungi panitia dan mengkonfirmasi tentang GKR Hemas yang akan hadir di Mubes Kaum Muda NU. Dengan cermat dan sigap, aktivis-aktivis Nahdliyin yang merasa terluka dengan dihapuskannya khalifatullah dan berimbas dihapuskannya Islam Jawa sebagai fondasi Kraton Mataram, segera menetralisir itu.
Informan saya ini, menceritakan, tidak berhenti hanya di situ. Setelah gagal di Mubes Kaum Muda NU, pion-pion ini berupaya menarik GKR Hemas untuk mengadakan acara di lain tempat di sekitar Muktamar NU di Jombang, dan dihembus-hembuskan bahwa GKR Hemas akan tampil memberikan sejenis sambutan di kalangan gerakan perempuan. Tidak mau Muktamar NU ditumpangi dan dijadikan ajang selfie oleh mereka yang justru dianggap sebagai membunuh Islam Tradisi, segenap aktivis Nahdliyin yang masih terluka akibat tikaman Sabdaraja itu, bergerilya kembali. Acara-acara yang dihembuskan akan dihadiri GKR Hemas segera didatangi beberapa orang dari aktivis Nahdliyin. Mereka ingin mengajak dialog. Ternyata, di tempat yang dihembuskan akan hadir GKR Hemas, hanya berisi belasan aktivis perempuan, yang berdiskusi, dan memberi kabar, GKR Hemas telah pergi ke Media Center Muktamar. Aktivis-aktivis Nahdliyin ini, kemudian meluncur ke Media Center Muktamar. Hasilnya nihil, tidak ada.
Menurut informan saya ini, upaya-upaya demikian, untuk memperbaiki citra GKR Hemas di kalangan Nahdliyin, dengan menggunakan tameng aktivis perempuan, yang berlatar belakang NU. Di sini nama Masruchah muncul lagi di dalam diskusi-diskusi para aktivis Nahdliyin yang konsen terhadap isu Islam Jawa dan Islam Tradisi. Dia dianggap sebagai pion yang mencoba dan menjebol pertahanan gerakan aktivis-aktivis Nahdliyin yang konsen terhadap isu ini. Dia adalah mantan orang Fatayat DIY, dan sekarang tinggal di Jakarta, seorang feminis. Dia di Jogja juga memiliki pion, dan belum saatnya nama ini disebut, meskipun Kyai Noto telah mengantongi namanya.
Apa yang dilakukan Masruchah, memberikan pengertian, bahwa tidak selamanya agenda-agenda dari feminis sejalan dengan kepentingan NU dan Nahdliyin, diitibarkan dari sepak terjang Masruchah, dan hal ini tidak perlu ditutup-tutupi agar terjadi komunikasi publik yang partisipatif dalam memahamai gerakan perempuan. Diperlukan gerakan perempuan yang kontekstual dan berpijak pada tradisi, tidak mengekor ke barat. Fenomena Masruchah dalam kasus ini, menandakan sangat jelas, meskipun dibesarkan dari dan berkarir di Fatayat, ketika memilih untuk kepentingan NU dan Nahdliyin atau perempuan, dia lebih memilih perempuan. Tentu saja, hal itu harus dilihat sebagai pilihan, dan setiap pilihan memiliki konsekuensinya, termasuk konsekuensi harus menyobek-noyobek Nahdliyin sendiri.
Tidak hanya berhenti di situ, pendukung Sabdaraja, semakin keranjingan nafsu berkuasa, setelah dengan tidak malu-malu, ketika Sri Sultan HB X masih hidup, sudah berani mendeklarasikan dengan menyebar pamlet: “Saatnya Raja Jogja Perempuan”. Pamlet ini menunjukkan timses dan pion-pion dari grup ini, sangat amatiran. Pamlet itu sama saja dengan mengkijingkan Sri Sultan yang masih hidup. Tetapi itu juga menunjukkan sejati pendukung Sabdaraja, yang ingin menetralisisr Jawa dan Islam, di dalamnya ada juga kepentingan ingin mendaulatkan Raja Perempuan. Nama-nama aktivis perempuan di lingkaran ini, kyai Noto juga telah mengantonginya tetapi belum saatnya untuk dikemukakan, dan sebagiannya adalah mantan Kasebul, fundamentalis Katholik yang mengendalikan.