Oleh: Kyai Noto Sabdo Nderek Sunan Kali
Seri Kelima
(Tulisan ini dikirim lewat kurir ke redaksi #SaveMataramIslam)
Â
Setelah tulisan J Kristiadi dan J. Luhulima yang telah saya kupas, saya mendapat kabar bahwa Harian Kompas tidak akan membicarakan soal Sabdaraja lagi. Kabar itu saya terima dari lingkaran-lingkaran muda di kalangan Katholik dan sebagian mantan deserter Kasebul. Tentu saja, saya tidak terlalu senang Harian Kompas berhenti membahas polemik soal Sabdaraja. Hanya saja, sebagai media nasional yang memiliki jaringan kuat, Harian Kompas tidak memberikan ruang diskusi itu menjadi menarik dan dalam, karena tulisan-tulisan yang dimuat di Koran ini, tidak ada yang mewakili dunia batin Islam Jowo. Kompas memberikan ruang terhadap opini soal Sabdaraja yang serampangan, dengan membabat fondasi Kraton Mataram yang berfondasikan Islam Jowo.
Kini muncul tulisan Radhar Panca Dahana dalam tulisan berjudul Garda Depan Bahari (Kompas, 18 Juni 2015). Pada bagian awal dia membahas soal pentingnya membangun budaya bahari, mengingat 2/3 % wilayah nusantara kita adalah air. Bahkan dia mengkonstruksi nilai-nilai bahari itu. Sampai di sini saya tidak tergugah untuk menanggapinya, meskipun masih banyak titik kritis yang dapat saya gerus-gerus kalau saya ingin menyoal panjang-panjang. Pokok, tulisannya hanya mengagung-agungkan saja, tanpa mengenali titik titik lemah tradisi bahari, laksana anak kecil yang puas diberi gula-gula manis. Di sinipun saya masih belum tergugah.
Â
Mataram Bahari
Ketika membaca bagian berikutnya yang menyebutkan soal Mataram Islam itu bertradisi bahari, bukan hanya saya terkekeh-kekeh, tapi kesan yang segera muncul adalah tulisan yang nekat sekali, ditulis seorang yang digelari budayawan yang selama ini cukup dihormati banyak kalangan karena obyektifitas dan kekritisannya. Ketika berbicara soal tradisi bahari dia berbicara soal banda-bandar faktual di pesisir, tetapi ketika dia berbicara soal Kraton Mataram, dia membetotnya bahwa konsep Bandar itu menjadi tempat pertemuan berbagai suku bangsa, dan menjadilah ia disebut dengan Bandar Yogyakarta. Dari sudut ini, sudah tampak jelas budayawan ini nekat, ngawur dan memaksakan diri.
Kedua, tidak ada bukti nyata dia menghubungkan Mataram dengan konsep bahari sebagai bandar-bandar faktual. Penandaannya dengan menunjukkan bahwa pertemuan warga Flores, Batak, Minang, dll di Yogyakarta selama ini dapat eksis tanpa sentimen picik kedaerahan dianggap sebagai pemberadaban khas bahari. Tanpa menguraikan proses dan realitas ini dengan khazanah Jawa, tradisi Jawa, basis Islam Jowo di dalam budaya di Yogyakarta, dan pengaruh konsep kebangsaan, tampak sekali keawaman kalau tidak kesengajaan dengan tujuan tertentu saudara kita yang menjadi budayawan ini, sehingga dengan gegabah dia menganggap itu sebagai pemberadaban khas bahari tanpa adanya pembahasan tentang asal muasal fondasi awal Mataram Yogyakarta dengan Islam yang melandasinya, adalah kekeringan dan keawaman lain dari tulisan sang budayawan ini, ada apa ini??? Karena saya yakin betul budayawan sekelas Radhar tidak sepatutnya lupa atau abai tentang sejarah yang masyhur ini.
Ketiga, dengan tidak membahas dari sudut fondasi kultural kebudayaannya, dia tidak cermat membedakan, tradisi Islam yang dikembangkan di pesisiran dengan di pedalaman, seperti Yogyakara ini. Mataram Yogyakara adalah pedalaman, dan kalau ia memberikan ruang toleransi dan lain-lain, itu karena fondasinya bertumpu pada Islam Jowo yang untuk konteks Mataram ini berakar di pedalaman, bukan pemberadaban bahari. Guru-guru spiritual yang membangun dan menjadi cikal bakal dari Mataram Islam juga merevitalisasi kembali tradisi pedalaman Jawa yang disatukan dalam Islam Jowo, seperti dilakukan Sunan Kalijaga dan para murid-muridnya, yang sangat egaliter anti kelas dan menempatkan manusia sama dihadapan sang Pencipta kecuali taqwanya dan karena hal inilah salah satu sebab mengapa Islam ketika itu diterima dan mampu membentuk peradaban baru ditengah kondisi masyarakat Jawa yang bertingkat dan membeda-bedakan strata, justru hakikatnya unsur dan nilai Islamlah yang telah membangun kebudayaan jawa yang dianggap plural selama ini oleh tulisan Radhar dan bukan hanya karena tradisi pesisiran atau baharinya namun lebih disebabkan oleh substansi dan nilai-nilai dari ajaran Islam itu sendiri sebagaimana diajarkan oleh para wali yang dilanjutkan para pendiri Mataram Islam sejak HB I Panembahan Senopati.