Kutipan lain yang sangat disukai oleh grup-grup semacam itu dari Serat Dharmogandul adalah “Klawan Paduka sang Nata, wangsul maring sunya ruri, mung kula matur petungna, ing benjang sak pungkur mami, yen wus prapta kang wanci, jangkep gangsal atus tahun, wit ing dinten punika, kula gantos kang agami, gama Buda kula sebar tanah Jawa”.
Dengan merujuk Serat Dharmogandul yang sangat digandrungi sebagai bacaan kontra Islam Jawa itu, terus menerus direproduksi dan diulang-ulang, yang bermuara pada penancapan akan muncul zaman kehancuran Islam Jawa dan munculnya agama kawaruh, agama budi. Bagi yang hanya berhenti membaca dengan dan dari Serat Dharmogandul, jelas akan terjebak dalam lingkaran kontra Islam Jawa.
Akan tetapi bagi mereka yang kritis akan mencari dari rujukan lebih awal daripada Serat Dharmogandhul ketika mengeksploitasi ramalan Sabdo Palon, yaitu dari Jangka Jayabaya Sabdo Palon. Dalam Jangka JayaBaya Sabdo Palon itu justru menggambarkansebaliknya dari para pengekor Serat Dharmogandul.
Dalam Jangka Jaya Baya Sabdo Palon disebutkan begini: Thathit kliweran ing nusa Jawa, pratandhane wong nuduhna, sampurnakna agamane, yeku agama rasul, anyebarna Islam Sejati, duk jaman Brawijaya, ingsun datan purun, angrasuk agama Islam, marga ingsun uninga agama niki, nlisir saking kang nyata. Dalam kata-kata yang lain Sabdo Palon mengatakan: Sampurnakna agamane, yeku agama Rasul, Islam kang sejati… Ngelingana he pra umat sami, yen sira tan ngetut kersaning wang, yekti abot panandhange, ingsun pikukuhipun, nuswantara ing saindenging.
Dalam kutipan-kutipan ini justru Sabdo Palon yang masih belum Islam itu akan masuk Islam, manakala Islam sudah dijalankan dengan benar, Islam sejati. Lalu kenapa terjadi distorsi? Kenapa Sabdo Palon diinterpretasikan membuat ramalan hancurnya Islam Jawa dan diganti dengan agama budhi, agama kaweruh, yang merujuk pada Serat Dharmogandhul? Ini menunjukkan adanya pertarungan pengetahuan, dan adanya upaya menggiring masyarakat Jawa awam dan para pemirsa budaya Jawa yang tanggung dengan merujuk Sabdo Palon dari Serat Dharmogandul.
Pertarungan Belum Selesai
Di sinilah, tampak sekali hubungan secara tidak langsung bahwa pertarungan itu berlanjut dalam perwujudan kontemporernya. Lingkaran-lingkaran yang memainkan fantasi hancurnya Islam Jawa itu, dengan keluarnya Sabdaraja yang berimplikasi mendirikan Kraton baru Mataram purba, memperoleh kanalisasinya. Tetapi angka 500 tahun dalam serat Dharmogandul sudah terlewati, dan itu menunjukkan kesalahan-kesalahan dalam fantasi ramalan yang dibuat di dalamnya, justru dengan adanya Sabdaraja yang sudah melewati angka 500 tahun itu.
Kalau demikian, kepentingan apakah ini? Serat Dharmogandul, yang sangat kontra terhadap Islam Jawa memiliki tendensi yang sangat buruk terhadap Islam Jawa dalam menceritakan keruntuhan Majapahit, dan memperoleh tujuan-tujuannya dalam mengarahkan Jawa untuk berhadapan dengan Islam. Tendensi itu digunakan untuk mempengaruhi massa awam Jawa yang gandrung dengan Jawa. Tujuan yang sebenarnya adalah untuk memisahkan Jawa dan Islam. Lalu, siapakah yang akan mengambil untung dari pemisahan ini?
Saya memperoleh kode dalam kutipan Serat Dharmogandhul, yang isinya di antaranya ada yang menyinggung: Lamun seneng bukti, woh wit kadjeng kawruh, Anyebuta asmane Djeng Nabi, Isa kang kinaot, mituruta Gusti agamane (Jika suka dengan bukti, buah pohon kayu pengetahuan, sebutlah nama beliau Nabi Isa yang termuat, turutilah agamanya). Kutipan ini adalah kode sangat samar, yang menandaskan Serat Dharmogandul ini ditulis oleh mereka yang berkepentingan mengaitkan dengan agama Nabi Isa. Bahwa yang dieksploitasi sedemikiran rupa adalah Jawa dan agama kaweruh, adalah strategi untuk memisahkan Jawa dan Islam, agar dapat diterima di kalangan awam Jawa dan cendekiawan Jawa tanggung. Setelah itu kelompok ini akan mudah masuk ke dalam pengetahuan dan masyarakat Jawa.
Dengan menyinggung agama Nabi Isa, maka sudah jelas, serat ini lahir pada zaman misi zending sedang bergeliat hebat. Hal ini juga menjadi masuk akal ketika Belanda dan para tokoh missi agama Nabi Isa ini, mendirikan Lembaga Bahasa Jawa. Namanya Instituut voor de Javaansche Taal (Lembaga Bahasa Jawa), didirikan pada 27 Februari 1832 di Surakarta. LBJ didirikan oleh JF Carl Gericke, utusan zending dari Netherlands Zending Genootschap (NZG). Dari sinilah rekonstruksi Jawa dilakukan, dan dampaknya bisa dilihat sampai sekarang dalam kajian-kajian dan kebijakan-kebijakan missi yang sangat mempribumi, yang melibatkan pertarungan pengetahuan.