Saya membayangkan, dulu, Pak Harto mengintruksikan dengan senyumnya yang manis kepada para mahasiswa-mahasiswa Indonesia yang jumlahnya masih sedikit untuk terjun ke masyarakat, ke desa-desa di pelosok negeri, menebarkan pengetahuan dan menumbuhkan semangat Pembangunan yang memang digencar-gencarkan oleh Presiden.
Terutama, setelah Pak Harto melihat pelaksanaan pengabdian mahasiswa kepada masyarakat pada tahun akademik 1971/72 lalu. Ketiga universitas pelopor: Universitas Gadjah Mada, Universitas Hasanudin dan Universitas Andalas melakukan intruksi kepada mahasiswanya untuk terjun ke masyarakat selama beberapa waktu, mengamalkan tri dharma perguruan tinggi.
Desa kemudian dijadikan sasaran pelaksanaan pengabdian ini dikarenakan desa memliki beberapa permasalahan yang membutuhkan "kaum pemikir" untuk dapat menyelesaikan persoalannya, mereka membutuhkan para tenaga terampil yang paham akan teori, pemimpin yang inovatif dan kreatif karena masyarakat desa pada saat itu masih menganut prinsip-prinsip budaya tradisional yang menghambat program-program Pembangunan nasional.
Hal ini secara empirik terbukti dari pada bagaimana masyarakat yang hanya bergantung di sektor ekonomi, sedangkan untuk tampil sebagai sebuah negara yang maju tentunya Indonesia perlu berjalan dan bergegas lebih kencang, karenanya perguruan tinggi pada akhirnya dipandang perlu untuk turut dilibatkan dan melibatkan mahasiswa dalam Pembangunan yang kemudiannya dikenal sebagai Kuliah Kerja Nyata.
Sekelumit Soal di Kemudian Hari
Pada tingkatan tertentu, kuliah kerja nyata atau selanjutnya kita menyebut KKN memang berhasil, meski kemajuan yang diberikan tidak signifikan. Di kampung saya sebagai sample misalnya, tim KKN tahun 2010 lalu, saat itu usia saya 9 tahun, diajak mas-mas KKN untuk ikut serta membangun tempat mata air desa, dibangunnya bangunan dan saluran sehingga memudahkan masyarakat yang membutuhkan air untuk mengambil dari kran-kran yang dibuat, tidak lagi harus mengantre dan menimba dari dalam sumur.
Hal ini menegaskan bahwa KKN sebagai pengabdian kepada masyarakat ternyata menampakan mahasiswa mampu untuk memecahkan masalah yang dihadapi masyarakat dan menanggulanginya secara pragmatis, prinsipnya kebermanfaatan ini pada akhirnya dirasakan masyarakat kampung saya bahkan telah hampir memasuki kedua. Dalam konteks keagamaan, mereka pun telah menancapkan amal jariyah.
Namun, sayang, di kampung saya KKN selanjut-selanjutnya tidak lagi ada yang dapat dikatakan mampu untuk menjawab definisi yang dimaksud, misalnya KKN sebagai pendidikan yang mengharuskan mahasiswa diperkenalkan secara langsung dengan masyarakat dan permasalahannya serta dengan cara kerja antar sektor atau interdisipliner ternyata tidak menemui konklusinya secara ultimate.
Pelaksanaan KKN hanya berkisar pada pengajaran anak SD dan SMP saja. Tanpa bermaksud mendeskreditkan, seorang mahasiswa teknik misalnya ketika pelaksanaan KKN mengajar anak SD di bidang mata Pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan, padahal jika ditengok lebih dalam permasalahan desa tersebut tentunya pasti memiliki permasalahan terkait yang berkorelasi dengan bidang mahasiswa teknik tersebut.
Atau, mahasiswa yang dia tidak pernah belajar tentang kompos gas ngotot untuk melakukan pendidikan kepada masyarakat tentang kompos gas, padahal secara bidang keilmuan dia bukanlah di sana, dalam pengertian KKN sebagai kegiatan pendidikan, seyogyanya mahasiswa mampu melakukan cara kerja antar sektor atau interdisipliner.