Matahari baru saja naik ketika seorang lelaki duduk di bangku taman. Usianya mungkin sudah menginjak paruh baya, kerut di keningnya menandakan perjalanan hidup yang tak selalu mulus. Pandangannya jauh, melayang melewati pepohonan dan suara anak-anak yang berlarian di taman. Ia menghela napas dalam-dalam, meresapi sejuknya pagi itu, namun ada raut kelelahan yang tak sepenuhnya bisa disembunyikan dari wajahnya.
Tak jauh dari sana, seorang bocah laki-laki tengah menendang bola dengan antusias. Pipi merahnya menggambarkan kegembiraan, tawa kecilnya kadang-kadang pecah ketika berhasil menendang bola tepat sasaran. Bocah itu kelihatannya tak kenal lelah, terus berlari mengitari lapangan taman. Beberapa kali ia melirik ke arah bangku di mana lelaki itu duduk, namun segera kembali fokus pada permainannya.
Lelaki itu menyaksikan setiap gerak anak itu dengan penuh perhatian, seolah-olah memperhatikan sesuatu yang berharga. Meski tak terlalu menonjolkan diri, sorot matanya penuh dengan kasih sayang dan kebanggaan. Ada rasa puas dalam melihat anak itu begitu gembira, namun ada juga bayang-bayang kekhawatiran yang sesekali melintas di wajahnya. Ia tahu, kehidupan tak selalu tentang kebahagiaan. Kadang-kadang, ada hal yang harus dihadapi, yang mungkin anak itu belum siap mengetahuinya.
Setelah cukup lama bermain, bocah itu akhirnya mendekat, menghapus keringat di wajahnya dengan tangan, tampak lelah tapi bahagia. Ia duduk di samping lelaki itu, terengah-engah, namun senyum lebar tak kunjung pudar dari wajahnya.
"Ayah, aku hampir bisa menendang bola seperti yang Ayah ajarkan kemarin!" serunya dengan bangga.
Lelaki itu mengangguk sambil tersenyum, menepuk pelan pundak anaknya. "Bagus, Slamet. Teruslah berlatih. Kalau kau terus berusaha, suatu hari kau pasti akan lebih hebat dari Ayah."
Slamet mengangguk antusias. Baginya, ayahnya adalah sosok yang hebat. Sejak kecil, ia mengagumi kekuatan dan ketangguhan lelaki yang kini duduk di sampingnya itu. Meskipun hidup mereka tak selalu mudah, ayahnya selalu mengajarinya untuk tidak mudah menyerah, untuk tetap semangat menghadapi setiap tantangan.
Slamet tahu, ayahnya bekerja keras setiap hari. Bahkan di hari libur pun, ayahnya sering kali masih memikirkan pekerjaan. Mereka bukan keluarga yang kaya, namun ayahnya selalu berusaha agar Slamet tak merasa kekurangan. Ayahnya bukanlah orang yang banyak bicara tentang cinta atau kasih sayang, tetapi lewat perbuatan, Slamet tahu betapa besar cinta ayahnya.
"Besok, aku harus kembali bekerja di proyek, Nak," kata lelaki itu, mengusap kepala Slamet dengan lembut. "Tapi jangan khawatir, Ayah akan pulang setiap malam untuk menemanimu belajar."
Slamet mengangguk, walau sedikit kecewa. Ia tahu betapa pentingnya pekerjaan itu bagi ayahnya, tapi tak bisa disangkal bahwa ia ingin lebih banyak waktu bersama ayahnya. Meski begitu, ia tak pernah mengeluh. Ia tahu, ayahnya melakukan semua itu demi dirinya, demi masa depan yang lebih baik.
Pagi itu berlalu begitu saja, namun bagi Slamet, hari itu selalu menjadi hari yang istimewa. Di tengah segala kesibukan dan tanggung jawab, ayahnya selalu menyempatkan waktu untuknya. Slamet pun selalu mencoba memberikan yang terbaik, baik dalam belajar maupun membantu pekerjaan rumah, sebagai bentuk balasan untuk semua pengorbanan ayahnya.