Mohon tunggu...
Danny Maulana
Danny Maulana Mohon Tunggu... -

Full time Video Journalist, Broadcaster, Photoholic, Half Time Reader, Words Collector, Movie Geek, Intergalactic Voyager and Dream Catcher.\r\n\r\nSekedar catatan: www.maulanadanny.wordpress.com\r\n\r\nJurnal wisata: www.dannioo.wordpress.com

Selanjutnya

Tutup

Travel Story

Sibolga

11 Februari 2011   03:36 Diperbarui: 26 Juni 2015   08:42 3652
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sibolga

Apalagi yang menyenangkan selain kembali mengunjungi kota pesisir di Indonesia, ya kan? Saya tidak akan pernah bosan mendatangi pantai yang selalu menggoda dengan suara ombaknya yang tenang, angin pantainya yang bikin ngantuk sepanjang hari dan mataharinya. Ya! sebagai seorang anak yang lahir di Jayapura, Papua. Saya tergila-gila dengan pantai. Saya beruntung, sepulang dari Sumbawa Besar, saya ditugaskan kantor untuk pergi lagi ke Sibolga, kabupaten Tapanuli Tengah, Sumatra Utara. Kali ini saya pergi bareng Sukma Kartini dan Doni mincuk Fabrianus. Jelas sekali tawaran sekali seumur hidup ini 100% saya terima.

Sukma, Doni dan Saya di Danau Toba

Kami berangkat dengan pesawat pagi tanggal 9 maret 2009 menuju bandara Polonia, Medan, Sumatra Utara. Kenapa harus pesawat pagi? Karena jarak Medan-Sibolga tidak selemparan peluru atlit olimpiade. Kami harus menempuh delapan jam perjalanan dengan kecepatan konstan jika tak ingin terlalu malam untuk tiba disana. Tiba di bandara Polonia, driver kami, bang Iwan sudah menunggu sejak dua puluh menit yang lalu.  Setelah bergegas memasukkan semua barang-barang bawaan ke mobil, kami pun keluar dari bandara dan memulai tarikan nafas panjang.

Bang Iwan

Sebelum keluar dari kota Medan, kami mampir untuk sarapan pagi di tempat makan masakan padang yang sering di datangi teman-teman kantor. Kata bang Iwan yang sering mengantar mereka kesini, karena yang masak asli orang Padang. Hahaha bang Iwan ini memang tahu saja kalau di Jakarta banyak tempat makan masakan Padang yang juru masaknya bukan orang Padang. Kenyang dengan makanan berlemak dan minuman yang manis-manis, kami mulai bergerak keluar dari kota Medan terus ke arah selatan. Perjalanan panjang ini sebenarnya tidak terlalu membosankan. Karena kami akan melewati danau hasil bentukan letusan gunung berapi yang sangat besar ratusan tahun lalu. Ya, kami akan melewati Danau Toba. Tidak sabar untuk segera sampai disana. Dua jam berlalu dari Medan, kami memasuki Siantar. Kota kecil dengan kemacetan yang sama dengan Bogor, tapi yang bikin macet disini bukan hanya mobil, tapi bentor! Sebutan masyarakat Siantar untuk becak bermotor. Dan kerennya motor disini bukan motor kecil, tapi motor-motor besar seperti BSA, Norton, dan merek lainnya warisan jaman penjajahan dulu. Di Siantar, kami mampir sebentar untuk beristirahat dan bertemu bang Andi Siahaan. Seorang wartawan senior yang menjadi kontributor berita di kantor tempatku bekerja. Orangnya sangat ramah dan tidak pernah kehabisan nafas untuk bercerita dengan suara lantang. Aku suka dengan orang ini, kalau bareng dia, tidak pernah cukup waktu sehari untuk bercerita tentang apa saja. Tapi kami dikejar deadline, dan jam setengah lima sore, kami harus pamit dan melanjutkan perjalanan.

Danau Toba

Setengah jam berikutnya akhirnya tiba di danau Toba! Yeaaeyyy!! What a large lake I even seen. Luas permukaan airnya dua kali lipat dari Jakarta! Dan yang di tengahnya ada pulau Samosir yang luasnya 647 km2. Kami menepi di pinggir danau Toba yang agak tinggi dan banyak warung-warung kecil yang menjual makanan dan minuman instan. Mengambil beberapa foto dan kau tahu? Sukma dan Doni menggila disini, berfoto seperti model dan bercanda gila-gilaan. What a great time guys!

Sunset di Simalungun

Matahari sudah mengantuk dan lembayung merah sudah merambat di langit sore ketika kami mampir (lagi?) di warung kecil sekedar untuk makan mie instan. (di danau Toba kami tidak makan apapun loh) pinggir jalan di kabupaten Simalungun. Doni minum dua kaleng Bintang. Katanya bisa pusing kalau ngga minum. (hahahaha bukannya malah tambah pusing ya?). Akhirnya matahari sepenuhnya hilang diganti cahaya bulan dan kamipun melanjutkan perjalanan. Mudah-mudahan kali ini tidak mampir lagi. Saya lupa waktu itu pukul berapa, diluar sudah gelap dan jarang ada rumah sepanjang perjalanan. Bang Iwan membangunkan kami semua dan bilang sebentar lagi akan melewati terowongan legendaris itu. beberapa tikungan dan jalanan yang naik dan turun, kami sampai di depan terowongan. Pelan-pelan kami melewati pinggir bukit yang di lubangi dengan bom dan tenaga manusia sejak jaman penjajahan dulu. Terasa menyeramkan apalagi tidak ada siapapun selain kami yang melewati terowongan ini. Dengan cahaya lampu mobil, kami menengok keluar dari jendela dan melihat struktur terowongan ini dan menyimpan semua pertanyaan dalam hati hingga sampai di hotel.

Abdi, Kontributor Sibolga

Kami tiba di hotel (lupa nama hotelnya) pukul sembilan malam. Ternyata lebih dari delapan jam kami sampai kesini karena keseringan mampir. Hotelnya baru dibangun. Sangat baru malah hingga masih terasa bau cat di sepanjang lorong menuju kamar kami. Fasilitasnya sederhana tapi cukup nyaman, apalagi badan kami sudah hampir remuk diguncang-guncang sepanjang jalan kesini. Bang Abdi, kontributor berita untuk kantor kami yang tinggal di Sibolga menyambut dengan ceria. Ini pertama kalinya saya, Sukma dan Doni bertemu dengannya. Dia orang yang sangat lucu. Masih muda, kurus kecil dan dengan logat bahasa khas pesisir dia menghibur kami semua hingga akhirnya saya menyerah dan pamit tidur duluan. Terowongan Batu

Truk melewati terowongan kedua

Setelah bangun dan sarapan, hari kedua ini saya, Sukma dan Doni langsung menuju terowongan batu di desa Simaninggir yang semalam kami lewati dengan perasaan was-was. Wajar saja karena banyak cerita rakyat yang beredar kalau terowongan itu horor. Sering ada kejadian-kejadian aneh dan kalau mau melewati terowongan tersebut harus membunyikan klakson mobil. Sampai di depan terowongan, kami bertemu pak Robert Tarihoran, seorang pegawai honorer yang dipekerjakan dinas Pekerjaan Umum untuk mengurus terowongan. Pekerjaan ini sebenarnya warisan dari mertuanya Serep Simbolon (almarhum) yang lebih dulu menjaga terowongan ini sejak 1993. Meninggalkan Sukma yang lagi ngobrol sama pak Robert, saya dan Doni melihat-lihat isi terowongan. Tingginya sekitar lima meter. Ada dua terowongan. Yang satu lebih pendek dari yang lainnya. Tapi yang terakhir ini selain lebih panjang, bentuknya agak menikung hingga lebih menyulitkan truk dengan bawaan yang banyak untuk melintas. Tak jarang hingga nyangkut dan harus membongkar sebagian barang bawaannya agar bisa melintas kembali.

Air Terjun yang menutupi terowongan kedua

Menurut banyak kabar, dua terowongan dari batu keras yang dilubangi ini dikerjakan dengan memahat oleh rakyat Tapanuli pada jaman penjajahan Belanda dulu dan dilanjutkan hingga selesai pada jaman penjajahan Jepang. Menurut cerita disini, banyak korban tewas karena kelaparan dan penyakit dan konon mayatnya langsung di buang ke jurang di samping terowongan. Pada tahun 1991, pemerintah daerah memutuskan untuk memperlebar jalan terowongan ini dengan menggunakan dinamit. Kampung Nelayan dan Pulau Poncan Gadang

Kampung Nelayan

Hari berikutnya saya, Sukma dan Doni naik ke atas bukit kecil yang telah diberi tangga batu yang sangat banyak! (karena kecapean, anak tangga yang kami hitung berbeda-beda jumlahnya). Dari atas, kami bisa melihat kota Sibolga yang indah. Ada genteng-genteng kusam bertembaran dimana-mana, mobil dan motor yang melaju kesana-kemari entah mau kemana mereka itu. Di bibir pantainya ada banyak perahu nelayan.

Kepiting Lunak

Sebelum melanjutkan ke perkampungan nelayan di kampung kelapa, kami mampir sejenak untuk makan siang di sebuah warung makan. Ada satu menu yang tak pernah saya lupakan. Kepiting lunak. Saya tidak tahu itu kepiting jenis apa dan bagaimana cara memasaknya, yang pasti saat itu adalah pertama kalinya saya memakan kepiting yang semuanya lunak dari capit hingga cangkang. Benar-benar lunak hingga anda mengira sedang memakan kerupuk alih-alih makan kepiting! Saya habis dua hahahaha.

Pindah Rumah

Setibanya di kampung nelayan untuk melihat masyarakat sekitar yang biasa mengolah ikan hasil tangkapan untuk dijadikan ikan asin, tidak sengaja kami melihat suatu prosesi adat setempat. Ada seorang wanita muda yang duduk diatas tandu dengan berpakaian adat lengkap. Warga dan anak-anak kecil disekitar situ mengintarinya dan tersenyum. Tapi yang membuat aku dan Sukma keheranan adalah ekspresi wajah wanita muda itu yang tampak suram dari pertama kami melihatnya hingga hilang dari pandangan. Ketika ngobrol dengan tukang jahit setempat, ia bilang itu adalah adat pindah rumah. Jadi wanita tersebut telah menikah dan keluarga wanita harus merelakannya pindah untuk tinggal bersama suaminya, seolah-olah diusir.

Pulau Poncan Gadang

Sebaiknya anda tidak perlu melihat proses membuat ikan asin. Karena saya sendiri, Sukma dan Doni mual-mual melihatnya. Ikan-ikan asin di rebus ditungku panas dan harus terus diaduk dan sesekali diberi garam oleh orang yang banjir keringat sepanjang hari. Anda pasti mengerti sekarang apa jadinya kalau garamnya kurang? Setengah hari menghabiskan waktu di kampung nelayan, kami kembali ke Sibolga untuk menumpang kapal kecil yang biasa membawa wisatawan ke pulau Poncan Gadang di depan kami. Karena sudah sore (sekitar pukul 4 p.m) hanya saya, Sukma, Doni, Bang Iwan dan Bang Abdi yang menumpang. Sungguh kurang rasanya hanya dua jam di pulau Poncan Gadang.

Sunset di Pulau Poncan Gadang

Ketika sampai disana, kami hanya punya waktu satu jam untuk mengambil gambar karena matahari sudah mulai tenggelam di ufuk barat. Sedang kami masih ingin menikmati pulau yang pasir pantainya begitu putih dan indah. Meski sedikit kesal, perjalanan kami seminggu ini di Sibolga sungguh menyenangkan. Bertemu rekan kantor, anak-anak dan orang dewasa di kampung nelayan dan bahkan melihat adat setempat yang tidak direncanakan sebelumnya. Happy traveling everyone.

Doni (mincuk) Fabrianus

Di depan Terowongan kedua

Dua orang ini memang aneh

Oleh-oleh untuk di rumah

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun