Ronggeng Pasaman merupakan salah satu kesenian tradisional khas Sumatra Barat yang masih eksis hingga sekarang. Kesenian ini berupa kegiatan berbalas pantun dalam bentuk nyanyian dengan iringan musik dan tarian.
Kesenian ini umumnya dimainkan oleh minimal sembilan orang yang terdiri dari satu orang ronggeng, tiga orang penampil pria, dan lima pemain musik. Ronggeng bertugas mendendangkan pantun-pantun dalam pertunjukan.
Ronggeng juga harus bersedia berpenampilan seperti perempuan. Ia juga biasanya memiliki paga diri (ilmu batin penjaga diri) yang diperlukan untuk memastikan keamanan ketika sedang tampil.
Dalam pertunjukannya, seorang ronggeng didampingi oleh tiga penampil pria. Satu orang bertugas membalas pantun yang dilontarkan ronggeng Pasaman, sedangkan dua lainnya mendampingi sambil menari.
Sementara itu, pemain musik terdiri dari lima orang, yakni satu pemain biola, dua pemain gitar, satu pemain rebana, dan satu pemain tamborin. Kelengkapan penampil kesenian ini mampu membuat fungsi utama Ronggeng Pasaman tercapai, yakni sebagai hiburan dan pelipur lara.
tradisi ronggeng mempunyai kaidah ketika menampilkannya.
Kaidah pertama yakni ada alur, penampil (tokoh dan penokohan), latar ruang dan waktu, dan perlengkapan (sarana). Kaidah kedua, teks bahasa, dan dialog disesuaikan dengan lingkungan sosial budaya masyarakat, yakni suku Minangkabau dan Mandailing.
Setiap penampil dalam pertunjukan juga dimungkinkan punya ilmu kebatinan agar berjalan dengan lancar dan baik. Dikenal dengan sebutan pamaga diri (pemagar diri) juga bisa mencegah gangguan dalam pertunjukan.
Munculnya ronggeng di Pasaman tidak lepas dari migrasi penduduk pada masa lalu. Ronggeng Pasaman berasal dari masyarakat Jawa yang bermigrasi ke Pasaman. Mereka dibawa oleh penjajah Jepang untuk memenuhi tenaga kerja di perkebunan karet.
Kedatangan mereka sekaligus membawa adat kebiasaannya, termasuk kesenian ronggeng. Perkembangan ronggeng di Pasaman juga tak lepas dari adanya kelonggaran pertunjukan ronggeng pada masa itu.
Seiring berjalannya waktu, ronggeng kemudian diadaptasi sesuai dengan adat dan kepercayaan yang ada di Pasaman. Kesenian ini kemudian mengalami modifikasi sesuai adat masyarakat setempat, salah satunya syair yang diubah menjadi bahasa Minangkabau dan Mandailing.