Khalifah Umar bin Khattab kemudian mencari tahu, apa yang terjadi didalam gubuk kecil tersebut, setelah diperhatikan ternyata di dalam gubuk itu tampak seorang ibu yang sedang menjaga sebuah tungku api seperti sedang memasak. Terlihat sesekali ibu tersebut mengaduk pancinya, seraya sambil berkata kepada anaknya, "tunggu ya nak, sebentar lagi makanannya masak" tidurlah. Hal ini diperhatikan oleh Khalifah Umar bin Khattab berulang kali, sesekali anak dapat tertidur sebentar, namun kemudian kembali terbangun karena rasa lapar yang mendera.
Hal yang membuat Khalifah semakin penasaran dengan apa yang sebenarnya sedang terjadi, sambil mengucap salam seraya merahasiakan identitasnya, Khalifah bertamu, seraya bertanya apa yang sedang sang ibu masak sehingga dari tadi masakannya tidak juga selesai. Dengan nada sedih sang ibu berkata bahwa anaknya menangis karena rasa lapar, sementara ia tidak memiliki makanan apapun dirumahnya untuk dimasak. Maka untuk menenangkan perasaan anaknya yang sedang lapar, sang ibu memasak beberapa bongkah batu. Jelas saja batu sampai kapanpun tidak akan masak.
Dalam riwayat ini ada beberapa kesimpulan yang dapat diambil, pertama, sang ibu dalam situasi yang serba sulit sehingga harus rela berbohong demi memberikan sebuah harapan dari lapar yang dirasakan anaknya. Kedua, Ibu berbohong bukan dalam artian menipu atau menyesatkan, namun hanya sekedar ingin memberikan ketenangan sesaat diwaktu yang sulit.
Dalam kasus nyata lain yang pernah terjadi, hal ini langsung diceritakan oleh salah seorang sahabat penulis tentang pengalaman sedihnya ketika membesarkan anak dalam usia menikah muda. Dihadapkan dengan kondisi ekonomi yang terbilang belum siap dan tidak mapan. Pernah suatu hari anaknya yang waktu itu baru berusia 5 tahun kenangnya, selayaknya anak-anak lain ketika melihat beberapa orang yang sedang berjualan jajanan sedang lewat didepan rumahnya.
Kemudian, anaknya seketika tanpa sepengetahuannya berlari mendekati orang yang sedang berjualan pentol bakso, dan meminta  si penjual untuk mengambilkan beberapa biji pentol, sang anak belum mengerti bahwa untuk membeli sesuatu harus memiliki uang, penjual pun tidak mengetahui bahwa anak yang sedang mendatanginya tidak membawa uang, alhasil pentolan bakso tadi sudah diambilkan dan diberikan kepada anak kawan tadi, seketika sang ayah sadar dan melihat bahwa anaknya sedang berada dengan penjual pentol, bahkan yang parahnya lagi pentol tersebut sudah ada ditangan anaknya.
Tanpa basa basi ayahnya langsung berlari merebut pentol bakso tersebut dari tangan anaknya dan mengembalikannya kepada penjual, seraya berkata, "mohon maaf paman anak saya tidak mengerti, tidak jadi beli" anaknya menangis sejadi-jadinya karena sedih pentol yang diharapkannya batal untuk didapatkannya. Padahal cerita sang ayah kepada penulis, pada waktu itu dia memang sedang tidak memiliki sepeserpun uang untuk belanja, melihat anaknya memegang pentol dia panik sejadi-jadinya, karena bingung harus membayar dengan apa, dia menyadari sebab menikah disitusi muda dengan tidak ada pekerjaan pasti, gumamnya dengan cerita sambil meneteskan air mata penyesesalan dan penuh rasa bersalah kepada anaknya.
Kemudian lagi ceritanya, untuk menenangkan kekesalan anaknya yang mengis, maka ayahnya berkata "besok ya nak", perkataan yang mampu memberikan secercah harapan dari apa yang sedang diinginkan sang anak. Dari cerita ini juga dapat disimpulkan bahwa situasi sulit mengharuskan orang tua untuk berbohong agar terlihat bijak, bukan berbohong dalam makna yang sebenarnya.
Anak adalah manusia yang belum dewasa maka, tugas orang tua membimbingnya sehingga kelak menjadi orang dewasa sebagaimana tujuan Pendidikan. Secara kebenaran bahwa berbohong memang bukanlah sebuah pendidikan, namun disisa lain, orang tua ingin memahamkan namun diwaktu yang belum seharusnya dan situasi yang tidak menguntungkan seraya berharap suatu saat kelak, anak itu akan paham serta menjadi orang yang bijaksana dengan kondisi yang sedang terjadi saat sekarang dimasa dewasanya.
Sebagaimana tujuan Pendidikan menurut "Tan Malaka adalah untuk mempertajam kecerdasan, memperkukuh kemauan dan memperhalus perasaan". Maka diharapkan ketika anak itu tumbuh menjadi orang dewasa akan memiliki wawasan yang dalam dan memiliki perasaan yang halus.
Karena menurut Dorothy Law Notle "Jika anak dibesarkan dengan permusuhan, maka dia akan berkelahi, jika anak dibesarkan dengan iri hati, maka ia akan belajar kedengkian, jika anak dibesarkan dengan pengakuan, maka ia belajar mengenal tujuan, dan jika anak dibesarkan dengan rasa berbagi, ia belajar kedermawanan.
Maka peran orang tua dalam membimbing adalah faktor utama dalam pembentukan kedewasaannya kelak. (Aha)