"He ... dengar ya, penulis itu sangat menghargai dengan yang namanya tulisan. Mereka akan sangat kontra dengan tulisan yang tidak menghargai eja'an bahasa negaranya sendiri. Jadi jangan pernah berharap diterima permintaan pertemananmu di fesbuk kalau nama akunmu masih alay gitu," Dulkemen memberi jeda kepada pernapasannya untuk menelan udara. Pertanda bahwa akan banyak yang akan ia utarakan kepada teman kentalnya itu.
"Sesungguhnya penulis itu sangat mulia. Mereka adalah para penjaga bahasa. Bahasa bangsa Indonesia. Tak berlebihan jika aku menyebut mereka adalah pahlawan. Tapi ironi memang, sekarang banyak orang-orang ngaku ingin jadi penulis. Tapi kenyataannya mereka bahkan sama sekali ndak mau belajar menghormati dan menghargai bahasa bangsanya sendiri serta cara penulisan yang benar. Sering aku jumpai para penulis dewasa ini menggunakan judul-judul bahasa negara asing dalam tulisannya. Padahal baik isi maupun tema tak ada hubungannya sama sekali dengan bahasa asing tersebut. Bisa jadi mereka kurang merasa percaya diri jika menggunakan bahasa Indonesia. Bahasa luar dianggap lebih keren. Bukankah bangsa yang maju adalah bangsa yang menghargai bahasa bangsanya sendiri! Belum lagi di dunia maya kini semakin marak penulis memosting tulisan disingkat-singkat sak njeplake tangan, lalu dengan pede-nya meminta dibedah, dikomentari, dikritisi.
"Dan kamu tau alasan mereka kepada para pembaca yang telah merelakan waktunya hingga berkerut kening untuk menilai, berkomentar kepada tulisannya?" Dulkipo sudah mengambil ancang-ancang hendak menjawab pertanyaan Dulkemen, tapi sayang Dulkemen tidak memberikan kesempatan sahabatnya itu untuk menjawab, malah ia jawab sendiri pertanyaan yang ia lontarkan tadi, "satu: sebenarnya mereka tau kalau tulisan mereka itu tidak disiplin EYD. Alasan mereka sengaja tidak taat EYD hanya karena ingin menghemat waktu. Dua: karena saat menulis mereka menggunkan hape, jadi ribet.
"Membaca alasan mereka yang demikian itu rasanya kepingin aku menjepit kepala mereka pekek ketiak, ketiaknya bangkai pesawat. Jika mereka melanggar karena memang benar-benar tidak tau, itu bisa dimaklumi. Tapi, jika mereka melanggar karena sengaja, itu yang tidak bisa diampuni. Toh, sesungguhnya juga bakalan kelihatan kok yang sengaja melanggar dengan yang benar-benar ndak tau. Belum lagi ada rumor yang mengatakan bahwa bahasa Indonesia nanti akan menjadi bahasa internasional. Akan digunakan sebagai bahasa resmi di negara-negara Asia Tenggara. Lalu mau ditaruh di mana muka bangsa ini? Jika penduduknya sendiri saja ndak paham dan ndak mau belajar paham tentang EYD?"
"Zzz ..., zzz ...," suara dengkur Dulkipo nyaring terdengar.
"Oo ... bocah edan, dikasih penjelasan malah turu!"
Dalam tidurnya Dulkipo bermimpi menyumpal mulut Dulkemen yang sok keminter itu dengan potongan lidah para pejabat korup yang lebih cakap berorasi ketimbang berbukti.
Dulkipo juga bertemu dengan seorang bijak bahasa tempoe doloe dalam mimpinya.
"Bahasa Indonesia itu sejak dulu memang berubah-ubah. Bahasa selalu mengikuti kebutuhan manusia. Tak perlu kau sepaham dengan idealisme temanmu. Baiknya kau lebih bisa menghargai dan lebih bijak dalam menggunakan bahasa Tanah Airmu." Orang bijak itu lalu menghilang. Wajahnya sangat familiar bagi Dulkipo.
NB : Cerita ini terinspirasi dari kisah nyata, jika terjadi kesamaan nama, tempat dan lain-lain itu memang disengaja. :)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H