Dunia sepakbola dan pecinta sepakbola masih terngiang dan belajar dari tragedi Hillsborough. Tepatnya pada tanggal 15 April 1989, di kandang klub Sheffield Wednesday bernama Stadion Hillsborough yang menjadi venue laga semifinal turnamen tertua di dunia yaitu laga Piala FA antara Liverpool vs Nottingham Forest.
Laga tersebut menjadi magnet bagi para supporter dari ke dua tim untuk hadir ke stadion, namun apa yang terjadi, pertandingan yang mestinya berjalan menarik justru berubah menjadi mencekam tatkala di salah satu sudut stadion terjadi insiden dan dilaporkan 96 suporter Liverpool meninggal. Sementara 700an supporter mengalami luka-luka.
Berkaca dari kejadian tersebut sepertinya kita semua sebagai penikmat sepakbola dan stakeholder terkait belum mampu menghayati dan belajar secara sungguh-sungguh atas kejadian yang sangat tragis tersebut, apalagi kita sebagai supporter belum ada kuda-kuda jiwanya kesiapan dalam menerima setiap hasil pertandingan.Â
Peristiwa kanjuruhan pada hari Sabtu malam 1 Oktober 2022 menorehkan tinta kelam sejarah sepakbola Indonesia, bagaimana tidak, Stadion Kanjuruhan menjadi saksi dan sejarah kelam Bangsa dalam ranah Sepakbola. jika kita melihat histori sejarah sepak bola di Indonesia secara modern lahir karena dibidani politisi bangsa untuk menentang penjajahan dengan strategi menyemai benih - benih nasionalisme di dada pemuda-pemuda Indonesia untuk bersyukur dan bersaudara.
Tapi ini lain hal dimana rasa suka yang berlebihan dan rasa memliki berlebih yang menjadikan diluar batas perasaan Kita semua tidak sedang menyalahkan siapapun karena setiap pengelolaan harus memandang regulasi dan efek kedepan.Â
Dan lagi-lagi soal Fanatisme yang dapat diartikan sebagai gairah diluar batas, antusiasme yang berlebih terhadap suatu hal tertentu, keras kepala, tanpa pandang bulu atau menggunakan cara-cara dengan kekerasan. disisi lain juga dapat diartikan dengan adanya pemikiran dogmatis, tidak memiliki rasa toleransi terhadap mereka yang perbedaan dan keinginan untuk memaksakan kehendak secara sepihak, serta merasa berkuasa.
Sudah menjadi budaya setiap pemikiran dan konsep hati kita bahwa bangsa kita mengidap penyakit negativ fanatisme-fanatisme, heroisme golongan yang direproduksi terus-menerus, pembangunan militansi sempit berbenturan dengan militansi golongan lain, ditambah lagi supporter Sepak bola sehingga yang terkorbankan adalah hidup sesrawungan, bebrayan dan komunalitas hangus terbakar.Â
Berkaca secara historis bngsa kita bahwa sejak dulu manusia Jawa-Nusantara sudah punya istilah empan papan, dan ini mengartikan inti dari segala pengelolaan. Satu lagi kunci kita agar terselamatkan dari fanatisme golongan, supporter, lembaga dan lainnya adalah dengan menyadari bahwa semua versi kebenaran, kemenangan selalu relatif bila datangnya dari manusia.
Kita semua jadi ingat pesan mbah Nun (Emha Ainun Nadjib) "Ojo ono manungso sing keroso bener dewe, Ojo ono manungso yang terlalu fanatik dengan kebenaran yang dia anut." Tidak ada Manusia yang merasa benar bahkan mennag sendiri, tidak ada manusia yang terlalu fanatic dengan kebenaran yang di anut.
Lantas pelajaran apalagi yang harus kita terima dan jadikan kesadaran di dalam setiap peristiwa, dan siapa yang akan bertanggung jawab di dalam tragedi Kanjuruhan ?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H