Secara literal, mobokrasi adalah kekuasaan politik yang dikendalikan oleh kerumunan massa. Penyebab munculnya mobokrasi ini beragam, seperti euforia liberalisasi politik yang berkepanjangan, lemahnya pengawasan terhadap praktik demokrasi, kurangnya penghargaan terhadap aturan hukum, dan sebagainya.
Karena itu, mobokrasi kerap dianggap merusak demokrasi. Sebab, demokrasi berangkat dari prinsip akomodasi timbal balik dan penyelesaian perbedaan secara damai. Sedangkan mobokrasi melalui tekanan massa yang sangat mudah menjadi aksi kekerasan.
Demokrasi dimainkan oleh orang-orang yang memiliki peran masing-masing secara dewasa dan beradab, dalam kelindan interaksi hak dan kewajiban. Sedangkan mobokrasi dikendalikan oleh kerumunan massa yang merasa kuat, karena beraksi secara kolektif.Â
Dengan berlindung di balik kolektivitas ini setiap anasir kerumunan merasa gagah untuk menuntut hak-haknya, meskipun tak jarang dengan membunuh hak-hak orang lain.
Sebagian orang juga menganggap mobokrasi sebagai bentuk "jebakan demokrasi" (mengutip istilah Graham Fuller), yaitu pengkhianatan terhadap demokrasi atas nama demokrasi. Oleh sebab itu, mobokrasi hanya bisa diatasi melalui penguatan terhadap pengawasan praktik demokrasi dan penegakan hukum.
Fenomena mobokrasi juga pernah disinggung oleh Gustave Le Bon dalam bukunya "The Crowd" (1895). Ia mengungkap bahwa massa kerumunan bisa dibentuk oleh figur atau tokoh tertentu, di mana mereka dipersatukan oleh ide-ide sederhana dan dangkal.Â
Sang tokoh menganggap dirinya dewa, sedangkan para pengikutnya tunduk dalam ketaatan buta. Mereka laksana zombie yang dengan mudah digiring menuju kekerasan dan kerusuhan. Dari sini terlihat bahwa pembentukan massa mobokrasi bisa dilakukan secara rekayasa.
Namun demikian, dengan mengacu pada teori tindakan kolektif Michael Bader, pembentukan massa bisa juga terjadi secara spontan yang disebabkan oleh perasaan senasib.Â
Sehingga, dengan menguatnya kepentingan bersama, maka mereka pun memobilisasi diri dan terkoordinasi dalam tindakan kolektif. Perasaan senasib tersebut tanpa disadari telah membentuk massa potensial, sehingga dengan sedikit picuan akan berubah menjadi massa aktual yang tidak jarang anarkis dan bahkan sadis.
Mungkin contohnya adalah demonstrasi tolak Omnibus Law UU Cipta Kerja saat ini. Pemicunya adalah dugaan hoax yang tersebar secara masif dan terencana.Â
Sehingga, dengan sedikit provokasi dari seseorang atau beberapa orang, gelombang kerumunan massa segera terbentuk. Lalu, dengan sedikit "aksi heroik" spontan, massa yang mungkin semula damai tiba-tiba berubah menjadi beringas.