Mohon tunggu...
Ahmad Irfan Maulana Syh
Ahmad Irfan Maulana Syh Mohon Tunggu... -

Sing penting Oyeg

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Dimanakah Peran Pajak dan Zakat?

19 Desember 2010   04:20 Diperbarui: 26 Juni 2015   10:36 262
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Akhir-akhir ini isu pajak menjadi buah bibir di masyarakat. Hal ini tidak terlepas dari terungkapnya skandal pajak yang dimotori oleh Gayus Tambunan.  Seorang pegawai negeri dengan golongan IIIA yang baru bekerja selama 10 tahun, namun memiliki simpanan uang sebesar Rp 28 miliar di rekeningnya. Tak ayal hal tersebut berdampak pada "enggannya" wajib pajak untuk menunaikan kewajibannya sebagai bangsa yang bijak.

Pajak merupakan alat produksi bagi negara untuk memenuhi kelangsungan proses bernegara, karena pajak adalah sumber penghasilan negara non migas yang sekarang ini komoditasnya semakin menurun. Menurut berbagai sumber, dalam lingkup negara Indonesia, kontribusi pajak terhadap APBN hampir mencapai 8O persen. Sebuah sumbangan yang tidak sedikit. Pajak, akhirnya menjadi unsur penting dalam kelangsungan peradaban sebuah negara. Ia menjadi sumber utama untuk membiayai pengeluaran rutin dan belanja negara.

Jika dalam bernegara kita mengenal sumbangan yang dapat dipaksakan yaitu pajak, maka dalam proses beragama pun akan kita temui hal serupa, yakni Zakat. Dalam tulisan kali ini saya tidak akan membahas tentang pajak apakah bertentangan dalam konteks Islam atau tidak, karena menurut saya pemberlakuan pajak bagi umat Islam itu boleh dilakukan selama merujuk pada maslahah ummah (kemaslahatan ummat).

Dalam alqur'an sendiri kata zakat selalu beriringan dengan kata Sholat, hal tersebut mengingatkan kepada kita bahwasanya islam mengajarkan kepada pemeluknya akan adanya dua hubungan dalam hidup, yakni habl min Allah dan habl min an-naas (hubungan vertikal dan hubungan horizontal). Hubungan tersebut akan dapat dengan harmonis berdampingan jika kita mampu mengejawantahkan arti sholat dengan zakat. Menurut Monzer Kahf, tujuan utama dari zakat adalah untuk mencapai keadilan social ekonomi. Zakat merupakan transfer sederhana dari bagian dengan ukuran tertentu harta si kaya untuk dialokasikan kepada si miskin (Kahf,1999).

Disamping itu, pendistribusian zakat pun telah di atur, yaitu bagi meraka-meraka yang sudah tercantum dalam "ashnaf", adapun orang yang berhak menerima zakat adalah:


  1. Fakir, ialah orang yang tidak mempunyai dan tidak pula berusaha.
  2. Miskin, ialah orang yang tidak cukup penghidupannya dengan pendapatannya sehingga ia selalu dalam keadaan kekurangan.
  3. Amil, ialah orang yang pekerjaannya mengurus dan mengumpulkan zakat untuk dibagikan kepada orang yang berhak menerimanya.
  4. Muallaf, ialah orang yang baru masuk Islam yang masih lemah imannya, diberi zakat agar menambah kekuatan hatinya dan tetap mempelajari agama Islam.
  5. Riqab, ialah hamba sahaya atau budak belian yang diberi kebebasan berusaha untuk menebus dirinya agar menjadi orang merdeka.
  6. Gharim, ialah orang yang berhutang yang tidak ada kesanggupan membayarnya.
  7. Fi sabilillah, ialah orang yang berjuang di jalan Allah demi menegakkan Islam.

Pajak dan Zakat dalam penigkatan perekonomian Ummat.

Dua pungutan tersebut dapat kita simpulkan bahwa alur akhirnya adalah untuk kesejahteraan ummat, tidak lebih dari itu. Perlu untuk dicatat, Praktik pengumpulan pajak pada zaman Nabi SAW dilakukan oleh para amil yang memiliki dua peran ganda, yakni sebagai pengumpul zakat dan pajak sekaligus. Kebijakan ini terus berlanjut pada masa pemerintahan Khulafa al-Rasyidun. Reformasi dan penataan ulang sistem perpajakan setelah sekian lama rusak, terjadi pada pemerintahan Khalifah Umar ibn Abdul Aziz.

Kabarnya, di bawah kekhalifahan inilah sistem kebijakan fiskal Islam mengalami kesuksesan yang tak tertandingi sampai saat ini. Begitu efektifnya pengelolaan keuangan negara yang berasal dari zakat, pajak dan sumber-sumber keuangan lainnya, sehingga tak ditemukan satu orang pun yang melarat karena kelaparan dan kemiskinan di bawah pemerintahan khalifah ini.

Melihat peruntukan dua pungutan tersebut, sejatinya bangsa Indonesia merupakan bangsa yang kaya dan tidak bergantung pada pinjaman dari luar. Akan tetapi melihat kondisi yang ada, tingkat kemiskinan di Indonesia semakin tajam grafiknya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun