Dalam Islam setelah generasi juru selamat atau nabi dan rasul disempurnakan oleh Rasulullah saw sebagai khootam al-anbiya, maka pesan Tuhan tersebut beralih tugas kepada para sahabatnya untuk disampaikan kepada seluruh manusia. Sepeninggal Rasulullah, maka generasi berikutnya adalah golongan sahabat, taa’bi’in, taabi’ittaabi’in hingga pada ulama salaf. Sementara itu, agama lain mempunyai istilah tersendiri dalam menamai generasinya.
Dikarenakan banyaknya pesan Tuhan yang perlu dikaji dan ditelaah kembali, berbagai agama, baik itu agama semawi maupun bukan, sepeninggal juru selamat/nabi mereka, maka pesan Tuhan mulai dilembagakan. Hal tersebut dikarenakan banyaknya pesan yang harus digali kembali berdasarkan konteks kekinian, dan agar persoalan kekinian sesuai dengan pesan yang Tuhan berikan.
Proses pelembagaan dari pelbagai agama memiliki sejarah panjang, adalah Budha misalnya setelah sepeninggal Buddha Gautama yang mempunyai nama asli Gautama Sidharta pendiri agama budha, para pengikutnya mengadakan Sidang Agung, dimana diadakannya dari sidang agung tersebut bertujuan untuk menghimpun ajaran-ajaran Buddha Gautama kepada orang-orang yang bebeda-beda. Karena Buddha tidak meninggalkan ajarannya secara tertulis, ajarannya diteruskan lewat sekumpulan memori murid-muridnya dalam bentuk sutra-sutra. Sidang Agung tersebut merupakan cikal bakal dari adanya Bhiksu-bhiksu. Para bhiksu tersebut mendedikasikan diri secara utuh dalam lingkungan biara sebagai golongan suci yang mencoba menerjemahkan pesan Tuhan.
Dalam ajaran Kristen, golongan suci dinamakan biarawan atau biarawati. Mereka secera sukarela meninggalkan kehidupan duniawi dan memfokuskan hidupnya untuk kehidupan agama pada suatu tempat, yakni biara atau greja. Di Indonesia biasanya para biarawan ini dipanggil dengan nama suster. Para suster ini bertugas sebagai pelayan ummat, mulai dari pendidikan, kesehatan hingga sosial kemasyarakatan. Tugas suster atau bagi laki-laki disebut dengan bruder ini semata-mata untuk memperingan tugas dari Uskup atau pastor yang memimpin lingkungan gereja.
Tidak terkecuali Islam, setelah munculnya al-Qur’an setelah abad ketujuh masehi dimana al-Qur’an lahir pada zaman kegelapan yang mayoritas masyarakatnya pada waktu itu buta huruf, semua orang memandang perlu untuk mengkaji kembali pesan Tuhan yang terkandung didalamnya. Tentunya proses mengkaji al-Qur’an bukanlah persoalan yang gampang, melainkan memerlukan metode serta kapasitas yang mumpuni. Khususnya di Indonesia, juru selamat yang berkompenten untuk dapat mengartikan bahasa tuhan adalah santri. Santri berasal dari bahasa sansekerta yaitu cantrik, yang berarti pengemban Kitab Suci.
Polarisasi pendidikan model santri merupakan cara para ulama terdahulu untuk mengakaji serta memahami pesan Tuhan secara komprehensif. Gus Dur mengemukakan bahwa pesantren, berbeda dengan lembaga pendidikan lainnya, memiliki paling tidak tiga elemen utama yang layak untuk menjadikannya sebagai sebuah subkultur. Yaitu : (1) pola kepemimpinan pesantren yang mandiri dan tidak terkooptasi oleh negara, (2) kitab-kitab rujukan umum yang selalu digunakan yang diambil dari berbagai abad, (dalam terminologi pesantren dikenal dengan kitab klasik atau Kitab Kuning) dan (3) sistem nilai (value system) yang dianut. Beberapa nilai moralitas yang selalu ditekankan dalam ajaran-ajaran di pesantren adalah keikhlasan (al-Ikhlash), kemandirian (al-I’timad ‘ala al-Nafs), kesederhanaan hidup (al-Iqtishad), asketis (al-Zuhd), menjaga diri (al-Wara’), dan lain-lain.
Pada umumnya pesantren menyebut “Tafaqquh fi al-Din” sebagai tujuan pesantren. Secara literal ia berarti “mendalami agama”. Pengertian tafaqquh di sini bukanlah hanya berarti mempelajari agama eksoterik, atau dalam arti hukum-hukum fiqh yang legal-formal, melainkan lebih jauh dari itu. Lebih lanjut, menurut Zamakhsyari, “Tujuan pendidikan tidak semata-mata untuk memperkaya pikiran santri dengan pelajaran-pelajaran agama, tetapi untuk meninggikan moral, melatih dan mempertinggi semangat, menghargai nilai-nilai spiritual dan kemanusiaan, mengajarkan sikap dan tingkah-laku yang jujur dan bermoral, dan menyiapkan para santri untuk hidup sederhana dan bersih hati. Setiap santri diajarkan agar menerima etik agama di atas etik-etik yang lain. Tujuan pendidikan pesantren bukanlah untuk mengejar kepentingan kekuasaan, uang dan keagungan duniawi, tetapi ditanamkan kepada mereka bahwa belajar adalah semata-mata kewajiban dan pengabdian (ibadah) kepada Tuhan”.
Dan akhirnya, janganlah kita terjebak akan luasnya pesan Tuhan. Pesan Tuhan merupakan pesan yang harus dipahami secara lebih mendalam lagi agar tatanan bangsa dan masyarakat kita lebih terarah. Namun demikian, ironisnya banyak dari kalangan agamawan tidak bisa membawakan perannya sebagai pembawa pesan Tuhan yang baik hingga pada akhirnya justru kekacauanlah yang banyak terjadi. Seharusnya agamawan dan juga lembaga-lembaga agama yang ada mampu memposisikan diri sebagai pencetak karakter bangsa dan peradaban manusia. Sehingga yang terjadi kemudian bukanlah Pesan Tuhan yang terabaikan karena adanya “pesan” lain yang lebih memberikan keuntungan bagi dirinya, karena pada dasarnya Pesan Tuhan melalui agama kesemuanya telah mengarahkan, menganjurkan, serta membimbing kearah yang lebih baik. Persoalannya kemudian hanyalah sejauh mana kita dapat mengartikan pesan Tuhan tersebut.
Selamat membaca pesan dari Tuhan
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H