Mohon tunggu...
Maulana Hamzah
Maulana Hamzah Mohon Tunggu... profesional -

Anak Baik

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Kapitalisme: Sebuah Pemahaman

17 Januari 2015   16:58 Diperbarui: 17 Juni 2015   12:57 133
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bisnis. Sumber ilustrasi: PEXELS/Nappy

Sejak pertama kali mengenal pelajaran ekonomi, di kelas SMA, aku sudah mendengar istilah kapitalisme. Bukan dari buku, tapi dari berita. Dari suara-suara parau diluar sana, dari suara-suara mahasiswa yang berdemo dijalan raya, ataudari debat ekonom di layar kaca.Saat itu aku tak tahu betul apa artinya, namun yang ku pahami pasti kapitalisme itu buruk dan berbau amerika.

Sebagai seseorang yang dibesarkan dilingkungan muslim yang taat, aku banyak menerima doktrin agama tanpa banyak bertanya untuk memahaminya. Doktrin antara kafir dan amerika terasa begitu dekat atau memang itulah definisinya menurut para tetua. Suatu pemahaman yang sangat simple untuk kalangan muda yang lebih sibuk memikirkan urusan senang-senang dan berprinsip “bodo amat”.

Namun ketika aku kuliah di jrusan ekonomi, aku mulai memahami kapitalisme adalah salah satu kata ilmiah yang berujung isme, dan berawal capital. Secara mudah dapat kupahami capital adalah modal. Jadi ekonomi kapitalisme, adalah ekonomi modal, jadi ekonomi akan berjalan dari mereka yang kaya, yang kadang imbasnya hanya menyejahterakan kaumnya saja, merekalah yang dikenal dengan sebutan kapitalis. Biasanya Mereka memulainya melalui investasi dan pinjaman berbunga, yang kupahami mereka adalah orang-orang mapan yang terus menumpuk kekayaan, mereka berbau asing, bule, pirang, turis, cuek, arogan dan colonial. Pemahamn yang cukup sempit saat itu diiringi jiwa muda, memaksaku turun terjun ke jalan raya, dan menjadi suara yang mungkin tak didengar oleh kaum remaja di luar sana yang masih berkutat pada UN, persis saat aku dulu. Pengalaman, perdebatan dan diskusi tentangnya semakin membuatku tertarik dalam aliran jom morrisan yang terkenal dengan slogan “anti kemapanan”. Aku benci orang kaya, setidaknaya itulah definisii egoisku terhadap teori yang kupahami dan didukung dengan keadaan yang kualami saat itu.

Saat itu mulai banyak pertanayaan mendasar muncul, kenapa sekolah harus mahal? Kenapa semuanya harus serba bayar? Aku benci lingkungan yang memiskinkan seperti itu, dan hanya memberi kesempatan bagi yang kaya. Memang banyak yang tak mau mengalah dengan keadaan, namun berapa banyak yang cukup sadar untuk itu, ditengah perut dan beban ekonomi yang tak mau berkompromi. Ketika lulus kuliah aku mulai bepikir mencari modal,saat itu aku bergaul dengan banyak motivator dan komunitas pengusaha yang bnayak bicara bahwa modal tak hanya uang, tapi juga kemauan, semangat yang kuat, dan apapun yang kita miliki saat ini. Definisi kapitalisme yang kupahami mulai melunak, kapitalisme sepertinya tidak terlalu buruk, karena toh kita memang butuh modal, untuk usaha, untuk nikah atau untuk sekedar mencari kerja. Proses pelunakan itu terjadi Karena ternyata definisi kapitalisme yang sedikit bergeser dari pakemnya, dengan penambahan variable yang abstract, yah kalo tidak mau disebut salah.

Dan kini saat sudah bekerja dan usaha, aku memahami kapitalisme ternyata sesuatu yang lebih buruk dari yang kubayangkan. jurang antara kaya dan miskin yang kian lebar, fakta bahwa mayoritas uang beredar hanya dimiliki oleh segelintir orang, fakta bahwa kebanyakan dari kaum minoritas ini lebih pusing melihat mobilnya yang kekurangan minyak, ketimbang memikirkan jutaan orang yang mati kelaparan diluar sana, fakta bahwa pengangguran dan kemiskinan manusia bisa difluktuasikan lewat angka dan remote control inflasi melalui regulasi suku bunga. Fakta bahwa banyak dari bayi yang baru lahir di banyak Negara berkembang harus ikut menanggung hutang yang tak ia pahami untuk apa. Dan anda bisa melihat dan merasakan kini, setiap orang ketika beranjak dewasa disibukkan dengan urusan biaya sekolah yang mahal, gaya hidup yang egois dan materialistis dari lingkungan, hingga bingung mencari kerja. Jangan bandingkan dengan anda yang kaya, lihatlah kaum mayoritas, merekalah yang lebih pantas merepresentasikan keadaan. Bukan mereka yang setiap hari tak pernah meikirkan apa yang akan dimakan hari ini. Pertanyaanya? Sejak kapan situasi ini dimulai? Sejak kapitalisme itu ada.

Kini aku melihat, kapitalisme bukan hanya system ekonomi, tapi semacam globalisasi kebudayaan. Dimana kaum korporat dinegara asalnya sana, amerika telah memaksakan budaya yang mereka anggap baik keseluruh dunia. Sejarah mencatat revolusi industry, yang membuat minyak menjadi komoditas kebutuhan super primer, lahir dari 3 peran, yaitu korporat, pinajaman hutang dan pemerintah yang korup. Ini bukan hanya tentang Indonesia, tapi seluruh dunia. Pernahkan dari kita ada menyadari bahwa ekonomi itu hanyalah ilmu prediksi dan statiistik adalah ilmu kira-kira. Dan kaum kapitalis menggunakannya sebagai alat untuk meyakinkan system kapitalisme ini akan memberi kesejahteraan yang tinggi dan modern melalui keahlian mereka dalam konstruksi dan rekayasa.

HArus diakui, barat punya ilmu, dan berhasil menggunakannya sebagai internalisasi budaya. Imbas kapitalisme ini sungguh luar biasa, hingga menyebabkan sector financial berkembang tak berimbang dengan sector riil. Instrument keuangan seperti swap, future, modal venutra, asuransi, dan terutama perbankan berkembang denagan pesatnya. Yang pada intinya semua bermuara pada satu definisi yaitu modal (capital). Namun problemnya kini, modal seakan menjadi sesuatu yang didewakan hingga bisa melahirkan istrumen derivative, modal untuk modal. Bahkan dalam lingkungan modern seperti sekarang ini kita terbiasa menyebut “pasar modal”. Coba pahami, lu mau dagangan modal disono. Cari modal sih mafhum kita mengenalnya seagai pasar primer dalam bentuk penwaran IPO (initial Public Offering), tapi dagangan modal sepertinya sesuatu yang “kalo hati boleh omong, aneh gak sih.

Hal paling buruk justru ada dalam definisi awal ilmu ekonomi yang diajarkan sejak bangku SMA. Yaitu menggunakan modal yang seminimum mungkin untuk mendapatkan keuntungan yang semaksimal mungkin. Tahu ga? Teori sudah diterapakan barat dan sukses membuat kita Negara berkembang susah untuk keluar dari jurang kemiskian, lupakan sejenak pamer gadget sesame kalian, lihatlah saudara kita yang tak pernah punya pikiran membeli gadget dan hanya sibuk mencari makan. Teori dasar inilah yang diterapkan perusahaan multinasional barat untuk mencari sumber daya alam yang murah, tenaga kerja yang murah, demi keuntungan yang maksimal. Memang benar mereka sangat membantu dalam menciptakan industry disana. Tapi untuk siapa? hanya segelintir orang yang menikmatinya. Bila dikatakan program CSR mereka milyaran rupiah, berapa trilyun total keuntungan mereka. Bandingkan, mungkin CSR yang katanya milyaran itu hanya 1 % dari total keuntungan, tau malah itu hanya bagian dari biaya produksi, biaya promosi¸pencipataan branding atau hanya sekedar ongkos keamanan, layaknya penjual kios dipasar minggu.

Aku berpikir semua, modernism didunia ini memang ide mereka. Fakta bahwa sekarang banyak anak yang tidak menghormati orang tuanya juga adalah ide mereka. Kotak 4 persegi bernama televisi telah sukses menginternalisasikan hegemoni barat dalam budaya timur atau lebih tepatnya pada budaya manusia. Manusia modern lebih suka berbicara kepada HP ketimbang manusia, lebih suka mendengar earphone, ketimbang nasehat agama, lebih suka membeli sayuran ketimbang menanamnya. Lebih suka bekerja dengan computer ketimbang dengan sahabatnya. Lebih tertawa dengan motion, danggap lebih variatif ketimbang senyumnya. Semua itu mencipatakan kebutuhan dan keinginan baru yang menambah ruwet pasar dalam ekonomi, semakin membuat kita lupa kebutuhan dasar kita apa. Sandang, pangan dan papan. Saat itu semua terpenuhi, saat itulah manusia sebagai mahluk yang sama-sama diciptakan oleh tuhan berkewajiban untuk berbagi, dan slaing menyantuni meghadapi hidup yang tak pasti.. bukan malah menciptakan keinginan-keinginan baru yang tak akan pernah habis terpenuhi dan hakikatnya malah akan semakin mebuat kita tergantung pada kesenangan-kesenangan semu..

Ini bukan tentang sosialisme ini Cuma tentang humanisme kita yang kian tercabik oleh arus kapitalisme.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun