Mohon tunggu...
Maudy Noor Fadhlia
Maudy Noor Fadhlia Mohon Tunggu... Dosen - Dosen Hubungan Internasional/FISIP Universitas Sriwijaya

Tertarik dalam isu kebijakan luar negeri, diplomasi, pembangunan dan sosial, keamanan, dan kajian Asia Timur

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Lika Liku Proyek Nikel-Kobalt di Indonesia, Sengketa Lahan sampai Cabutnya Investor Asing

9 Juli 2024   19:04 Diperbarui: 9 Juli 2024   21:21 119
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pemerintah Indonesia telah banyak menggadang-gadangkan proyek nikel-kobalt yang merupakan salah satu sumber daya terbesar Indonesia. Kebijakan ini merupakan salah satu program Presiden Joko widodo untuk mengembangkan komoditas nikel Indonesia di dalam negeri maupun luar negeri. 

Komoditas nikel sendiri merupakan salah satu komoditas penting untuk pembuatan baterai dan mobil listrik. Dengan adanya agenda transisi energi dari fosil ke energi terbarukan (renewable energy), maka nikel menjadi komoditas yang paling dibutuhkan saat ini dan untuk beberapa tahun ke depan. 

Dalam program hilirasi ini, Indonesia juga berupaya untuk memproduksi nikel sulfat sebagai bahan baku utama penyusun prekursos katoda baterai kendaraan listrik. Pabrik nikel sulfat yang beroperasi di Indonesia saat ini berada di Pulau Obi, Kabupaten Halmahera Selatan, Provinsi Maluku Utara dan diklaim menjadi pabrik pertama dan terbesar di Indonesia dari sisi kapasitas produksi.

Di tahun 2020, pemerintah Indonesia mulai memetakan wilayah-wilayah Indonesia dengan potensi nikel. Salah satunya ialah wilayah Sulawesi yang diperkirakan memiliki potensi biji nikel sebanyak 2,6 miliar ton. Wilayah Sulawesi yang masuk dalam peta potensi nikel ini antara lain Sulawesi Utara, Sulawesi Tenggara, dan Sulawesi Selatan. Terdapat beberapa daerah kawasan industri disana, seperti kawasan industri Morowali, Konawe, dan Bantaeng. Sejak tahun lalu pun, pemerintah melalui Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mulai mengeluarkan pernyataan berkaitan dengan potensi nikel Republik Indonesia (RI) yang akan menarik minat para investor.

Hal ini pun disampaikan Kementerian ESDM melalui siaran pers nomor 499.Pers/04/SJI/2023 pada tanggal 18 Oktober 2023 yang menyebutkan bahwa Indonesia memiliki cadangan komoditas nikel terbesar di dunia atau sekitar 23%. Secara keseluruhan, Indonesia tercatat menyimpan sekitar 17,7 miliar ton bijih nikel dan cadangan sejumlah 5,2 miliar ton bijih. Bahkan masih banyak wilayah lainnya di Indonesia yang memiliki kandungan nikel namun belum dieksplorasi (greenfield), terutama di wilayah Timur Indonesia. 

Tidak hanya itu, pemerintah juga mulai melakukan berbagai eksplorasi baru di wilayah greenfield demi membuka peluang yang lebih besar terhadap sektor pertambangan Indonesia. Dengan demikian, maka hal ini akan memancing masuknya investor ke Indonesia sebab kegiatan eksplorasi ini pun membutuhkan dana yang tidak sedikit. Selain itu, laju konsumsi biji nikel perlu dikurangi guna memperpanjang umur nikel.

Potensi cadangan biji nikel dan peluang industri hilir nikel ini lah yang menjadikan pemerintah melihat peluang menarik untuk mengembangkan investasi pada sektor pertambangan nikel. Tahun 2023, Indonesia berhasil menarik sebesar US$ 2,6 miliar atau sekitar Rp 39,4 triliun. 

Investasi ini digunakan untuk pembangunan smelter yang terbesar di tanah air. Terdapat 5 smelter nikel di Indonesia saat ini dan dua lainnya sedang direncanakan untuk dibangun. Tidak hanya itu, jumlah Izin Usaha Pertambangan (IUP) juga meningkat seiring dengan menjamurnya smelter nikel di Indonesia.

Bukti nyata hilirasi nikel Indonesia lainnya yakni kesiapan Indonesia dalam memulai produksi massal baterai kendaraan listrik pertama di Indonesia. Rencana produksi massal baterai ini disampaikan akan dilakukan bulan April 2024 namun belum ada rencana lanjutan untuk hal tersebut. Namun rencana pemerintah dalam program hilirasi nikel ini menuai banyak kritik, antara lain berkaitan dengan investasi yang masuk. 

Tiongkok merupakan salah satu investor pertama di industri nikel Indonesia. Setelahnya, ketergantungan Indonesia terhadap investasi Tiongkok semakin tinggi dan justru beresiko, misalnya terjadi penurunan investasi akibat melambatnya pertumbuhan ekonomi Tiongkok di tahun 2021 hingga 2022. Selain itu, investasi ini justru memberi karpet merah bagi investor Tiongkok dan menyebabkan beberapa masalah, seperti kasus sengketa lahan di wilayah produksi dan pengolahan nikel, deforestasi, dan masalah lingkungan lainnya.

Masalah lainnya yang muncul ialah cabutnya investor Eropa di dalam proyek nikel-kobalt Indonesia Juni 2024 ini. Perusahaan Eropa yaitu Eramet dan BASF hengkang dari proyek nikel-kobalt di Weda Bay, Halmahera, Maluku Indonesia. Pembatalan rencana investasi pada proyek smelter nikel ini senilai US$2,4 miliar atau setara Rp 42,66 triliun. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun