Mohon tunggu...
Muhammad Zahruddin
Muhammad Zahruddin Mohon Tunggu... -

Perancang Grafis, Peramu Cetak, Penikmat Sepakbola. \r\nwww.maucokelat.wordpress.com

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Perempuan (1)

13 Juli 2011   10:00 Diperbarui: 26 Juni 2015   03:42 109
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Sore yang masih nampak terang, mobil dan sepeda motor  berbaris  saling berdesakan dijalanan yang tanpa trotoar. Berderet-deret mirip antrian orang yang ingin membeli tiket konser Justien Bieber. Bunyi klakson saling bersahutan tanpa putus, terdengar seperti gelaran musik orchestra, walau tanpa konduktor. Atau aku kira lebih tepat, seperti orang yang saling memaki, bunyi klakson itu seperti ingin bilang, “Bangsat ! Minggir !”.

Supaya bisa bebas bergerak, Ia jepitkan juntaian jilbab putihnya, yang sekarang sudah tidak terlihat putih lagi, dibelakang lehernya. Kulit mukanya yang sawo matang nampak mengkilat, akibat perpaduan antara peluh dan sisa cahaya matahari hari ini. Sementara kedua tangannya sibuk mengatur lalu lintas yang jelas sulit diatur.

Ia perempuan yang hampir setiap sore kutemukan dipersimpangan jalan ini ketika aku pulang bekerja. Seingatku, bajunya selalu itu, warna jilbabnya juga begitu, ekspresi mukanya juga tak jauh beda, tersenyum ceria. Tapi  aku tak pernah melihat Ia berkata, sepatahpun. Layaknya orang yang mengatur jalan, seharusnya ia menggunakan suaranya untuk mempermudah apa yang ia lakukan, tapi nyatanya tidak.

Senja sudah hilang sedari tadi, sudah tidak adalagi suara klakson yang biadab, sekarang yang tertinggal hanya suara perutku yang protes minta ingin  segera ditanggulangi. Aku mampir di warteg favoritku, selain karena murah, alasan terbesarku memilih warung ini karena bahasanya mirip dengan bahasa ibuku, selain terasa nyaman, juga untuk mengobati rasa kangenku pada kampung halaman.

Aku kaget, Ia perempuan yang ku bicarakan sedari tadi, sudah ada didepan mataku. Tangannya sibuk menunjuk-nunjuk lauk yang akan dibelinya, tempe, sayur kacang, jengkol, apalagi tadi, ah.. sudahlah aku lupa. Kemudian Ia menyodorkan beberapa lembar uang kepada pelayan tanpa meninggalkan sepatah katapun. Belakangan baru aku tahu, Ia bisu sejak lahir. Sekilas ia melihat kearahku, tetap dengan mimik muka sore tadi, tersenyum ceria.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun