Salah satu ciri dari Negara demokrasi adalah diselenggarakannya PEMILU (Pemilihan Umum). Demokrasi sendiri berarti pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Artinya, pemilu dilaksanakan demi kepentingan dan kebaikan rakyat. Lantas, kalau kampanye parpol melakukan politik uang, bukankah itu pembodohan?
Dalam rangka menarik suara masyarakat, parpol masih menggunakan cara-cara lama dalam berkampanye, seperti berpawai keliling daerah-daerah TPS sambil membagikan kaos-kaos gratis, pembagian sembako, dan tidak sedikit yang memberikan uang. Walaupun dalam pelaksanaanya banyak terjadi pelanggaran terhadap aturan kampanye seperti membawa anak-anak, membagikan uang diluar cost politic, atau peserta kampanye yang melanggar aturan lalu lintas, cara ini tetap dipakai karena dinilai efektif dan praktis untuk memenangkan parpol yang berkampanye.
Meskipun pihak bawaslu telah membuat regulasi yang berisi sanksi-sanksi tegas terhadap pelanggar aturan berkampanye, metode kampanye ini mungkin akan terus digunakan. Hal ini dikarenakan para pemilih kita yang permisif terhadap tradisi berkampanye tersebut dan secara tidak langsung membuat demokrasi yang kita anut tidak berkembang, bahkan menciptakan politik pamrih.
Menurut KBBI, “pamrih” berarti maksud yang tersembunyi dalam memenuhi keinginan untuk memperoleh keuntungan pribadi. Kalau dikaitkan dengan politik, khususnya dalam berkampanye, politik pamrih berarti cara-cara yang tersembunyi untuk menarik suara, termasuk diantaranya money politic.
Kasus-kasus caleg yang meminta kembali uang yang diberikan saat kampanye, atau caleg yang menarik sumbangannya untuk masjid paska kekalahan dalam pemilu membuktikan bahwa mereka pamrih dalam memberikan bantuan tersebut. Dari kejadian tersebut, dapat simpulkan bahwa modus tersebut dilakukan semata-mata untuk menarik suara. Apabila cara-cara ini terus digunakan untuk berkampanye, saya khawatir ke depannya pemilih menggunakan hak pilihnya tergantung seberapa banyak yang mereka dapatkan, bukan berdasar kualitas dan integritas dari caleg-caleg itu sendiri.
Untuk mencapai demokrasi dalam artian sesungguhnya, perlu pendidikan politik yang mencerdaskan. Salah satunya adalah peran aktif dari KPU (komisi pemilihan umum) itu sendiri. Saya pribadi “hanya” melihat fungsi KPU sebagai penyedia barang logistik pemilu. Padahal, banyak hal lain yang bisa dilakukan oleh KPU yang berfungsi mengurangi politik pamrih di negeri ini. Dengan keanggotaan yang terdapat di semua penjuru daerah, KPU dapat berperan penting dalam mensosialisasikan tidak hanya peraturan pemilu tapi juga calon-calon yang maju dalam pemilu.
Ketika masyarakat dapat dengan objektif menilai caleg-caleg yang bertarung dalam pemilu, dengan terlebih dahulu mengetahui latar belakang mereka, maka pemilih merasa berkewajiban untuk memantau calon pilihan mereka apabila kemudian terpilih. Dalam hal ini, rakyat harus memilih wakil yang benar-benar dia percaya tanpa menerima (baju, uang dll). Karena, sekali lagi, pemberian-pemberian tersebut membuat membuat masyarakat menjadi permisif terhadap kesalahan yang dilakukan oleh wakil-wakil rakyat.
Semoga demokrasi kita semakin matang dan lembaga negara menjalankan fungsi mereka masing-masing. Amin.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H