Mohon tunggu...
Abdul Azis
Abdul Azis Mohon Tunggu... Wiraswasta - Owner Jazirah

Pemerhati Politik

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Sistem Proporsional Terbuka atau Tertutup

16 Maret 2023   20:45 Diperbarui: 16 Maret 2023   20:45 314
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Diakhir Tahun 2022 ketua KPU RI Hasyim Asyari melontarkan pernyataan yang cukup mengejutkan bagi publik khususnya para pemerhati politik, dalam pernyataannya ketua KPU itu memberikan narasi yang pro kontra tentang kemungkinan perubahan sistem pemilu dari proporsional terbuka menjadi proporsional tertutup. Pernyataan tersebut sontak menimbulkan reaksi yang beragam dengan memunculkan argumen-argumen tentang kelebihan dan kekurangan dua sistem tersebut. Dalam waktu yang bersamaan, Mahkamah Konstitusi sedang melakukan pengujian atas gugatan tentang perubahan sistem pemilu tersebut.

Indonesia sebagai negara yang terhitung baru menjalankan sistem demokrasi seperti anak yang sedang mencari jati diri demokrasinya, terlihat dari undang-undang dan peraturan komisi maupun badan yang dibuat masih terus berubah sambil mengevaluasi kelemahan dan kekurangan aturan mainnya. Berbagai cara telah diuji coba dan "dibongkar pasang" untuk menemukan formulasi yang tepat dalam rangka menghasilkan output demokrasi yang berkualitas.

Pun demikian dengan pilihan sistem proporsional terbuka dan tertutup, yang dulunya tertutup dengan hanya mencoblos partai, kemudian berubah menjadi semi terbuka dengan mencoblos nama calon anggota legislatif dengan perhitungan nomor urut, kemudian berubah lagi menjadi terbuka dengan perengkingan sainte lague dan seterusnya.

Semua sistem terlihat terevaluasi dengan baik melalui perbaikan aturan dari periode ke periode selanjutnya untuk memenuhi prinsip adil dan proporsional, namun tanpa disadari sistem ini merusak sendi lain dalam demokrasi secara tidak langsung bahkan merontokkan nilai demokrasi dengan maraknya praktek politik uang. Kontestasi yang dibuka seluas-luasnya membuat kompetisi menjadi tidak sehat, para kontestan cenderung menghalalkan segala macam cara untuk mencapai kekuasaan, masyarakat menjadi terbiasa dan akrab dengan jual beli suara, cost politik jadi membengkak, mereka yang diyakini punya banyak uang dia jugalah yang dianggap paling mempunyai peluang terpilih, tidak ada lagi gagasan kebangsaan dan perjuangan yang terdengar dalam setiap sosialisasi, yang ada hanyalah konsolidasi harga suara dan cara agar lolos dari jeratan sanksi BAWASLU dengan tetap mampu mendistribusikan logistik untuk pemilih, diskusi masyarakat pun juga terbawa suasana pesta demokrasi lima tahunan ini menjadi diskusi pragmatisme, dengan memilih calon dengan amplop yang lebih tabal. Seratus kali sosialisasi tentang pelanggaran pidana politik uang seakan tak mampu menghalangi, sebab transaksinya rapi dan tersembunyi.

Sangat miris melihat kenyataan seorang aktivis yang "vokal" dan besar dalam organisasi serta aktif melakukan pendampingan dan pembelaan pada hak-hak masyarakat kecil yang ingin berjuang dalam parlemen melalui kebijakan yang kemudian kalah perolehan suara dari seorang anak orang kaya yang hedonis tanpa gagasan, investasi sosial bertahun-tahun hilang dihapus uang dalam amplop.

Celakanya, mereka yang terpilih karna membeli suara ini tentu tidak bisa lagi diharapkan dalam memperjuangkan hak-hak masyarakat yang diwakilinya, fokusnya adalah bagaimana mengembalikan modal yang telah dikeluarkan saat masa kampanye kemarin.

Maka tidak mengherankan jika parlemen tidak maksimal dan menjalankan tugas dan fungsinya, yang marak hanyalah pencitraan dan deal proyek. Partai politik pun tidak bisa berbuat banyak terhadap kenyataan sebahagian masyarakat, tentunya pada saat rekrutmen calon legislatif akan menyesuaikan dengan keinginan masyarakat, kalau tidak maka perolehan kursi tidak akan maksimal.

Meski yang saya kemukakan ini tidak "menjudge" semua partai dan masyarakat tapi paling tidak hal tersebut ada disekeliling kita.

Menggunakan sistem proporsional tertutup memang akan mendapatkan tekanan keras dari berbagai kalangan, sebab ada banyak kepentingan yang terkandaskan, oligarki tidak mampu lagi meloloskan orang titipannya menggunakan kekayaannya, sebab kendali dipegang sepenuhnya oleh partai.

Lalu pertanyaannya adalah, apakah dengan sistem proporsional tertutup tidak akan ada lagi jual beli suara?

Tentu hal ini akan terjawab seiring diterapkannya aturan tersebut, namun yang menjadi catatan penting adalah hal ini pernah dilalui dahulu dan terbukti mampu meminimalisir, kemudian partai politik dipaksa untuk melakukan kegiatan pendidikan politik dan mencari ide dan kreatifitas untuk mendapatkan simpati masyarakat.

Apabila pemerintah menerapkan sistem proporsional tertutup maka besar kemungkinan praktek politik uang sulit untuk dilakukan, selain bahwa jumlah penduduk yang begitu besar untuk dibeli, juga sumber dana partai sangat minim untuk hal itu, dan produk demokrasi yang dihasilkan akan lebih berkualitas karena berasal dari kader yang terfilterisasi sejak lama.

Penerapan sistem proporsional tertutup bukan hanya mendegradasi politik uang semata namun lebih dari itu, dia akan kembali menyehatkan iklim demokrasi Indonesia.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun