Sorga..... sebuah tempat atau kondisi? Sebuah janji yang banyak dijaminkan oleh beberapa agama dengan berbagai persayaratannya. Dimana tidak ada lagi kesedihan, duka nestapa, kemiskinan, luka batin, amarah, sakit penyakit dan iri dengki. Sejauh ini tidak ada kepastian keberadaan surga dan gambaran yang benar-benar jelas mengenainya. Bagaimana jika surga itu ternyata tidak ada dan itu hanyalah mitos, imajinasi, khayalan orang-orang jaman dahulu dalam penderitaannya untuk tetap memberinya harapan akan masa depan yang memang tidak menentu. Tiada yang tahu, semua diskusi tentang hal itu akhirnya berakhir dalam tahapan iman yang diyakini masing-masing individu. Seberapa masing-masing meyakini kepercayaan itu.
Jika memang surga itu ada bisakah dihadirkan di bumi?
Ketiadaan kesedihan, duka nestapa, kemiskinan, luka batin, amarah, sakit penyakit dan iri dengki sangat bisa dihadirkan di bumi ini. Memang paparan berbagai berita di media membuat kita seolah tak berdaya mempertahankan pikiran kita tetap terang dan positif. Dulu surat kabar pada awalnya penuh dengan berita-berita menggembirakan dan positif, tapi anehnya surat kabar itu tidak laku dijual. Ketika isinya diganti dengan berita negatif, menakutkan, kriminal, ancaman, kerusakan, penghancuran, kehancuran anehnya surat kabar tersebut justru laku keras. Dan karena tujuan industri periklanan dan surat kabar pada waktu itu murni bisnis maka jadilah hal-hal semacam itu yang selalu diberitakan, sampai detik ini. Meskipun seringkali berita-berita tersebut belum tentu 100% kebenarannya, selebihnya adalah hoax dan bumbu-bumbu yang merangsang indrera keingintahuan dan kehausan orang untuk mendapat berita lebih.
Bahkan riset menghasilkan data yang menyatakan bahwa orang merasa lebih baik, nyaman ketika melihat, mendengar atau membaca bahwa orang lain ada yang lebih menderita dari dirinya. Hal ini yang menjadi bahan dasar media baik dari dulu hingga saat ini.
Sadar tidak sadar hari demi hari sepanjang hidup kita terpapar berita-berita negatif baik secara visual, audial, dan otomatis mental dan spiritual. Andai ada satu hari dalam seminggu dimana kita bersepakat hanya menyebarkan dan membaca berita yang positif, menggembirakan, tidak menghakimi, memberi harapan, tiada iri dengki, hal-hal yang menyejukkan hati, membuat tertawa lepas bahagia. Kira-kira hari semacam itu mungkin akan ditunggu setiap minggunya. Dimana kita melupakan segala penat, lelah, duka, berita sedih, kekecewaan dan iri dengki. Kembali menjadi manusia sejati yang lahir dengan sukacita dan penuh harapan tanpa kekuatiran. Seperti anak-anak yang bisa tertawa lepas dalam kondisi apapun termasuk di masa pandemi seperti sekarang.
Sepertinya dulu hari minggu adalah hari semacam itu. Dimana kita berkumpul dengan orang-orang tersayang untuk berbagi kebahagiaan dan sukacita, melupakan semua pekerjaan dan keluh kesah kehidupan. Tetapi sekarang, hari minggu seringkali ya masih hari dimana kita berkutat dengan pekerjaan atau justru hari tidur panjang setelah kelelahan selama seminggu mengerjakan sesuatu yang sebenarnya tidak kita nikmati dan menguras energi kita semata hanya demi kepastian nominal tertentu tiap bulannya.
Bisakah kita mengadakan hari semacam itu kembali? Jika tidak bisa seminggu sekali mungkin sebulan sekali, dua bulan sekali, tiga bulan sekali, atau masa sih setahun sekali? Sejauh itukah kita dari surga? Jika kita tidak nyaman untuk membahagiakan diri sendiri karena rasa bersalah, lalu apakah kita akan menjadi bahagia di surga kelak jika yang ada hanya kebahagiaan. Ada sebuah kitab yang menulis bahwa rasa bersalah adalah senjata terbesar setan untuk mengalahkan manusia. Dengan merasa bersalah kita tidak pernah menjadi nyaman dengan diri sendiri. Istilah sekarang insecure. Rasa bersalah itulah yang memaksa orang untuk berbuat lebih dari yang kadang bisa ditahannya baik dalam arti positif maupun negatif. Sungguh ajaib memang makhluk yang bernama manusia ini. Secara struktur hierarkinya lebih tinggi dari setan, tapi sering dikendalikan oleh rasa bersalah itu yang membuatnya tak berdaya.
Cobalah dari lingkungan terkecil kita, keluarga inti, keluarga besar, RT, RW, Kelurahan, dan seterusnya hingga menjadi negara atau dunia. Bikin satu hari, sebuah 'Happy Day' dimana kita tidak memperdulikan segala berita negatif. Hari libur nasional, hari libur internasional, Happy Day. Sehingga sejenak kita bisa merasakan Surga di Bumi.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H