Kultur itu keindahan, perbedaan warna, corak, kebiasaan, perilaku, pola pikir, pola pergerakan dan refleks terhadap sesuatu membuat kita kadang tidak bisa memahami orang lain. Makin lebar perbedaan itu makin terasa asing dan unfamiliar posisi kita terhadapnya.
Sebagai pasangan meskipun dari asal yang sama bahkan tetangga sekalipun masih saja banyak perbedaan yang membuat kadang cekcok tidak lagi bisa terhindarkan. Semakin kita mengenal seseorang semakin kita belajar bahwa secara hakiki memang selalu ada perbedaan dalam hubungan antar manusia terutama pola berpikirnya. Pola tersebut sudah terbentuk puluhan tahun sepanjang hidupnya yang tentunya berbeda satu dengan yang lainnya.
Terlebih lagi tentunya jika perbedaan asal negara. Iklim, cuaca, lingkungan dan pola makan akan sangat berpengaruh terhadap terbentuknya karakter seseorang. Pola asuh yang sangat berbeda antara dunia barat dan timur juga sangat melebarkan jembatan perbedaan ini. Terlebih jika keduanya termasuk yang ortodok pastilah semuanya akan keukeuh orang Sunda bilang dengan stylenya masing-masing.
Tapi bisakah disatukan? Sebenarnya bukan disatukan istilah yang tepat, tapi disejajarkan untuk memiliki visi dan tujuan yang sama. Membangun masa depan yang sejahtera misalnya. Asalkan istilah sejahtera tersebut dibuat spesifik dengan angka, benda, kondisi dan keadaan yang telah disepakati maka keduanya bisa menuju titik itu dalam satu kapal yang sama. Tentunya dengan cara dan stylenya masing-masing. Dalam hal ini keduanya mesti mengenal dan menghargai kapasitas dan kelebihan masing-masing agar bukannya bersaing tapi justru saling mendukung dan menguatkan. Perbedaan budaya dan wawasan justru akan memperkaya jaringan resources untuk mencapai tujuan. Kuncinya satu, saling menghargai.
Seperti sebuah jus mangganas (istilah penulis untuk campuran jus dan nanas:). Jika mereka bersaing untuk memamerkan kemanisanna atau kekecutannya maka hanya akan ada persaingan yang merusak hubungan antara keduanya. Tetapi jika kita memilih mangga matang sepenuhnya untuk mengambil manisnya, sementara dari nanas kita mencari kecutnya maka hasilnya akan nikmat tiada tara. Dan hasilnya adalah sebuah ramuan satu rasa yang tidak jelas antara mana mangga dan mana nanas. Menjadi segelas ramuan dalam harmoni rasa yang menyatu dan menciptakan sesuatu yang baru. Keindahan cita rasa yang unik dan spesial.
Begitu juga dalam sebuah hubungan berbeda negara, ketika keduanya bisa menyatu tanpa berusaha menghilangkan karakter masing-masing maka justru sebuah hubungan yang spesial terbentuk. Yang tentunya memang berbeda dengan hubungan lain yang terbentuk dari mereka yang berasal dari satu negara.
Di Bali banyak sekali pernikahan campur yang begitu multikultural dan sangat majemuk. Dan hal ini sudah sangat biasa terlihat di sekeliling pulau Bali, terlebih di area Canggu, Seminyak, Ubud, Jimbaran ataupun Sanur dimana banyak expatriat yang memang sudah tinggal di Bali selama belasan tahun. Bahkana ada komunitas ibu-ibu Indonesia yang menikah dengan orang asing dan itu ratusan jumlah ya yang tergabung. Bagaimanapun juga kita dulunya kan satu keturunan dari Adam dan Hawa, hidup di satu planet bumi dengan satu matahari yang sama. Kecuali ketika kita menikah dengan satu makhluk dari planet lain Mars misalnya maka itu baru sesuatu yang akan sangat berbeda. Sebenarnya kalau kita dikategorikan ya masih manusia juga, satu spesies. Jadi pasti tetap saja secara biologis masih banyak sekali persamaannya.
Tidak ada salahnya membuka wawasan dengan sebuah pandangan baru, bahwa kita semua ini adalah warga global bumi. Harmoni menjadi satu sebagai bagian dari alam semesta.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H