Jika hal ini akan terdengar ironis bagi Anda, saya menulis tulisan yang Anda baca ini di dalam sebuah taksi yang cukup terkenal—warnanya biru—dan terjebak macet di tengah hujan. Sempurna.
Kemarin, Jakarta digoyang aksi unjuk rasa dari pengemudi angkutan umum, yang kelihatannya mayoritas berasal dari pengemudi taksi. Tuntutannya? Meminta agar pemerintah melarang layanan transportasi berbasis aplikasi dalam jaringan (LTBA, rumit? online application transportation service). Alasannya, karena tidak saja dianggap ilegal, keberadaan mereka juga dipandang menggerus ladang penghasilan mereka.
Dalam hari yang sama, saya terkejut karena mendadak pemerintah mengeluarkan instruksi untuk melarang layanan-layanan tersebut, dan akan ditindaklanjuti dengan pemblokiran aplikasi-aplikasi terkait.
Cepat bukan? Andaikan semua secepat itu.
Walau demikian, saya berpendapat bahwa kurang tepat jika pemerintah bersikap reaktif seperti itu, tanpa pertimbangan lebih matang—dan tanpa, yang lebih dibutuhkan—mencoba menjadi adaptif dengan perkembangan, tidak hanya di bidang teknologi, namun juga di bidang konstruksi pasar.
Sebelum Anda menyangka yang nggak-nggak, biar saya tegaskan lebih dulu: Saya tidak bermaksud membela salah satu pihak tertentu, dan saya adalah konsumen dari kedua sisi yang ‘bersitegang’.
Pertama, jangan lupa bahwa bisnis transportasi umum seperti taksi atau LTBA adalah pasar persaingan sempurna—jasanya sejenis dan hampir sama, dengan para produsen harus menyediakan pembeda khusus yang menjadi diferensiasi jasa. Tugas taksi atau LTBA pada dasarnya sama: Mengantarkan satu konsumen dari titik A ke titik B.
Maka dari itu, tugas dari kedua pihak dalam pasar ini untuk menarik konsumen, yang paling penting adalah dengan berinovasi untuk mencari diferensiasi layanan. Bagaimana taksi, misalnya, dapat bersaing dengan LTBA? Seharusnya perusahaan taksi dapat mengoptimalkan layanannya untuk dapat mengejar layanan berbasis aplikasi. Inovasi sangat penting untuk pasar sebuah komoditas jasa yang sebetulnya sudah jenuh (saturated) ini.
Satu contoh: Wilayah di sekitar rumah saya termasuk wilayah yang rumit, untuk mereka yang jarang mampir. Dalam pengamatan saya yang tidak saintifik, jika saya memesan taksi dari salah satu penyedia jasa sebanyak 5 kali, pada 3-4 kali di antaranya saya harus menunggu sangat lama agar taksi tersebut dapat tiba. Ketika saya amati dalam kesempatan-kesempatan tersebut, saya melihat bahwa taksi-taksi ini tidak menggunakan GPS, yang harusnya dapat memandu mereka dengan mudah.
Dan itulah yang terjadi ketika saya memesan LTBA. Praktis dari 5 kali saya memesan, semua akan tiba dengan cepat (kecuali terjebak macet) karena alasan sederhana, aplikasi yang mereka gunakan memanfaatkan fitur GPS.
Masih berkaitan dengan layanan, jangan lupa juga bahwa ada sedikit perbedaan ‘tanggung jawab’ antara taksi dan LTBA. Jika saya menyetop taksi di pinggir jalan, logikanya perusahaan taksi tersebut mewajibkan pengemudi untuk membawa saya ke tujuan saya, tidak peduli berapa jauh, dekat, atau ke mana saya mengarah (saya mengetahui bahwa setidaknya ada satu perusahaan taksi yang memiliki kebijakan sanksi bagi pengemudi yang menolak membawa penumpang). Di sini, resiko atau tanggung jawab sebenarnya berada pada pengemudi taksi, karena taksi yang lampu kepalanya menyala seharusnya mengangkut penumpang, dan penumpang berhak kecewa jika taksi menolak mengangkut. Sementara, bagi LTBA, karena penumpang praktis tidak dimungkinkan menyetop di pinggir jalan, resiko terdapat pada penumpang, karena si pengemudi (yang merupakan pihak ketiga), menyediakan jasanya sesuai dengan kenyamanannya, dan dapat setiap saat berhenti (sehingga tidak mendapatkan pesanan atau tidak tampak pada tampilan aplikasi pemesan).