Si anak menjawab dengan pasti, "Karena ketika bencana alam mi instan selalu datang lebih cepat daripada yang lainnya!"
Sungguh benar jawaban si anak! Ketika bencana datang, semua orang tentu lebih tertegun dan menghormati mi instan yang bisa mengobati rasa lapar yang melanda. Sulit memang untuk memahami betul mengapa ini terjadi. Mengapa ketika bencana harus menunggu waktu sebegitu lama sampai ada perhatian dari para petinggi?
Begitu terlambatkah perhatian itu datang, bahkan lebih lambat dari mi instan? Tentu ini melihat betapa populernya mi instan sebagai solusi tanggap darurat bencana, karena cara memasaknya yang mudah, dan cepat mengisi perut para korban bencana. Tapi masalahnya di sini, perlulah kita prihatin bahwa orang-orang yang menduduki kursi-kursi empuk di rumah-rumah yang begitu aman karena kita pilih lewat suara kita saat pemilihan umum itu justru lupa akan siapa yang mengangkat mereka ke posisi itu.
Parahnya lagi, insesnsitivitas "yang terhormat" itu menjadi semakin tampak, ketika sejumlah "yang terhormat" itu malah memilih pergi ke luar negeri yang katanya buat belajar 'etika' (etika apalah kita tidak tahu), lebih parahnya ada yang diam-diam pergi, tanpa pernah sedikitpun berbicara apapun kepada rakyat banyak. Saya tidak bisa memahami mengapa mereka begitu tidak sensitif terhadap keprihatinan kita bersama, malah terus berniat pergi ke luar negeri tanpa pikir panjang lagi. Sebegitu besar uang yang digunakan untuk 'jalan-jalan' itu tentu bisa digunakan untuk kemanfaatan yang lebih besar bagi para korban. Rp 1,7 miliar bisa mendapatkan cukup banyak makanan untuk para pengungsi dan perawatan para korban. Belum lagi yang 'diam-diam' itu tadi.
Tidak habis pikir saya.
Tidak heran, mi instan lebih dihormati dibanding mereka "yang terhormat" itu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H