kebijakan penurunan tarif pajak penghasilan badan atau Corporate Income Tax (CIT) menjadi salah satu strategi favorit banyak negara untuk menarik investasi asing. Fenomena ini sering disebut sebagai race to the bottom—kompetisi antar negara untuk menawarkan tarif pajak yang semakin rendah demi menggaet modal asing. Namun, apakah langkah ini selalu memberikan hasil positif? Atau justru membawa konsekuensi yang membahayakan stabilitas ekonomi global?
Dalam beberapa dekade terakhir,Dinamika Kompetisi Pajak
Di tengah persaingan global yang semakin sengit, banyak negara berlomba-lomba memberikan insentif fiskal, termasuk menurunkan tarif pajak badan. Tujuannya adalah menciptakan iklim investasi yang kompetitif dan menarik perhatian perusahaan multinasional. Indonesia, misalnya, sempat merencanakan penurunan tarif PPh Badan dari 25% menjadi 20% pada 2022. Namun, rencana tersebut dibatalkan, dan tarif ditetapkan pada 22% melalui Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP)1.
Fenomena ini tidak hanya terjadi di Indonesia. Malaysia, misalnya, memberlakukan tarif pajak progresif yang kompetitif, sementara Korea Selatan menerapkan sistem pengawasan ketat untuk meminimalkan penghindaran pajak. Di Eropa, Belanda mengadopsi Anti-Tax Avoidance Directive (ATAD) untuk menjaga keadilan perpajakan sambil tetap menarik investor1.
Manfaat Jangka Pendek
Tarif pajak yang lebih rendah sering kali dipandang sebagai langkah strategis untuk meningkatkan daya tarik investasi. Dengan pajak yang lebih ringan, perusahaan memiliki insentif lebih besar untuk memperluas operasi mereka di negara yang bersangkutan. Hal ini diharapkan dapat menciptakan lapangan kerja, mendorong pertumbuhan ekonomi, dan meningkatkan daya saing nasional.
Penurunan tarif pajak juga dapat mendorong kepatuhan sukarela (voluntary tax compliance). Beban pajak yang lebih ringan cenderung mengurangi motivasi wajib pajak untuk menghindari kewajiban mereka. Selain itu, kebijakan ini membantu meningkatkan aliran modal asing, seperti yang terlihat di negara-negara seperti Irlandia dan Singapura, yang dikenal dengan tarif pajak rendahnya1.
Dampak Jangka Panjang: Race to the Bottom
Namun, di balik manfaatnya, race to the bottom menyimpan risiko besar. Ketika negara-negara terus menurunkan tarif pajak demi menarik investasi, hal ini dapat mengancam stabilitas penerimaan pajak global. Penerimaan pajak yang menurun berarti negara memiliki anggaran lebih kecil untuk membiayai infrastruktur, pendidikan, dan layanan publik lainnya.
Fenomena ini juga memicu kompetisi yang tidak sehat di antara negara-negara berkembang. Alih-alih berfokus pada perbaikan sistem perpajakan dan tata kelola pemerintahan, banyak negara terjebak dalam perlombaan tarif yang justru dapat merugikan kepentingan jangka panjang mereka.
Solusi: Kolaborasi Global