“Pendidikan adalah senjata paling ampuh yang dapat Anda gunakan untuk mengubah dunia,” ujar Nelson Mandela. Kutipan ini menyiratkan bahwa pendidikan adalah pilar utama dalam pembentukan manusia dan masyarakat. Namun, pertanyaan penting yang sering muncul adalah: metode pendidikan seperti apa yang paling efektif?
Beberapa minggu lalu, dalam sebuah ekskursi sekolah, saya mendapatkan pengalaman yang menggelitik pemikiran ini. Pertemuan dengan para santri di sebuah pesantren memberi saya perspektif baru tentang pendidikan pesantren dan bagaimana dibandingkan dengan sekolah biasa.
Ketika rombongan kami tiba di pesantren tersebut, suasana yang langsung terasa adalah keteraturan dan disiplin. Para santri, mengenakan seragam rapi, menyambut kedatangan kami. Wajah mereka ramah. Mereka menjawab setiap pertanyaan dengan nada sopan, seolah-olah sudah terbiasa menghormati siapa pun yang berbicara dengan mereka.
Saya terkesan, terutama setelah mendengar bahwa mereka memiliki jadwal yang sangat ketat—mulai dari bangun pukul 4 pagi untuk salat subuh, belajar kitab kuning, hingga kegiatan ekstrakurikuler yang berlangsung hingga sore.
Di sisi lain, selama kunjungan, saya juga mendengar cerita tentang bagaimana senioritas diterapkan. Para santri senior memiliki hak untuk memberikan perintah kepada juniornya, dan dalam beberapa kasus, hal ini dapat menjadi alat penegakan disiplin yang keras. Salah satu santri berbagi pengalamannya tentang bagaimana ia pernah ditegur keras oleh seniornya karena lupa menghafal ayat yang diberikan. Ketika mendengar ini, saya merasa ada kontradiksi: disiplin yang baik kadang datang dengan harga yang cukup tinggi.
Pendidikan pesantren memang identik dengan pembentukan karakter melalui disiplin dan nilai-nilai agama. Para santri diajarkan untuk patuh pada jadwal, hormat pada otoritas, dan bertanggung jawab atas tindakan mereka. Model pendidikan seperti ini memiliki keunggulan dalam membentuk pribadi yang mandiri dan memiliki moral kuat. Saya tidak bisa memungkiri bahwa kedisiplinan yang saya saksikan di pesantren tersebut jauh lebih terstruktur dibandingkan dengan sekolah biasa, di mana jadwal bisa lebih fleksibel dan aturan sering kali lebih longgar.
Namun, pertanyaannya adalah, apakah kedisiplinan seperti itu selalu menghasilkan individu yang lebih baik? Dalam konteks sekolah biasa, meskipun mungkin kurang disiplin, siswa memiliki lebih banyak kebebasan untuk mengeksplorasi minat dan bakat mereka.
Misalnya, di sekolah saya, siswa diberi kebebasan untuk memilih ekstrakurikuler yang mereka sukai, mulai dari musik, olahraga, hingga klub debat. Kebebasan ini membantu kami menemukan jati diri dan mengembangkan kreativitas.
Selama ekskursi tersebut, saya teringat salah satu percakapan dengan seorang santri yang bernama Fahri. Ia bercerita tentang rutinitas hariannya, yang dimulai dengan hafalan Al-Qur’an dan diakhiri dengan diskusi kitab kuning di malam hari. Ketika saya bertanya apakah ia merasa lelah dengan rutinitas itu, ia hanya tersenyum. “Awalnya berat, Mas,” katanya, “tapi lama-lama saya sadar, semua ini untuk kebaikan saya juga.” Jawabannya membuat saya merenung: apakah kebebasan yang kita miliki di sekolah biasa membuat kita lupa untuk disiplin?
Namun, di balik kekaguman saya terhadap semangat Fahri, ada satu momen yang membuat saya merasa ada sesuatu yang hilang. Saat kami mendiskusikan hobi, Fahri mengakui bahwa ia ingin belajar gitar, tetapi tidak diizinkan oleh pihak pesantren karena dianggap tidak relevan dengan tujuan pendidikan mereka. Di sini, saya merasa bahwa kebebasan untuk mengekspresikan diri adalah aspek penting yang kadang terabaikan di pesantren.
Sama Dalam konteks pendidikan, pesantren dan sekolah biasa adalah dua jalan yang berbeda menuju tujuan yang sama: mencetak generasi yang cerdas, bermoral, dan siap menghadapi tantangan kehidupan. Pesantren menawarkan pendekatan yang berbasis disiplin dan nilai-nilai religius, sementara sekolah biasa lebih menekankan kebebasan dan keberagaman.