Mohon tunggu...
Herman Wijaya
Herman Wijaya Mohon Tunggu... profesional -

Penulis Lepas.

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Artikel Utama

Proyek dan Utopia Hari Film Nasional

18 Maret 2015   16:17 Diperbarui: 17 Juni 2015   09:28 141
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hiburan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Rawpixel

Rasanya tidak salah kalau hari-hari belakangan ini insan film sedang jatuh cinta dengan Kementerian Kebudayaan (Kemandikbud).  Betapa tidak, kementerian yang baru hampir tiga tahun belakangan ini mengurus perfilman memang cukup royal menggelontorkan anggaran untuk dunia film. Untuk perayaan Hari Film Nasional yang jatuh tanggal 30 Maret 2015 ini saja, disediakan anggaran Rp.2,3 milyar – sebuah angka yang tidak pernah dikeluarkan oleh Kemenbudpar atau Kemenparekraf ketika dipercaya mengurus perfilman. Konon Kemenparekraf cuma royal kalau ada agenda film ke luar negeri dan Festival Film Indonesia (FFI).

Dengan komitmen dana Rp.2,3 milyar itu karuan saja insan film yang akan terlibat dalam kegiatan Hari Film jadi berbunga-bunga. Apalagi  Hari Film ini rencananya akan diadakan di halaman Istana Negara, bersama Presiden Joko Widodo. Presiden kita yang baru ini memang punya perhatian yang tinggi terhadap perfilman Indonesia. Waktu FFI 2014 yang diadakan Desember lalu di Palembang, Presiden juga hadir, seraya berjanji akan membentuk Badan Ekonomi Kreatif (Barekraf). Janji itu diwujudkan beberapa bulan kemudian, meskipun Barekraf sendiri sampai saat ini masih belum tahu apa yang akan dilakukan untuk perfilman. Setiap ditanya soal perfilman, Ketua Barekraf Triawan Munaf menjawabnya ngalor-ngidul.

Insan film nampaknya tak terlalu perduli kalau Barekraf bingung soal film, karena Kemendikbud ternyata punya komitmen lebih tinggi terhadap perfilman. Buktinya Mendikbud sering hadir di acara film, walau pun Manoj Punjabi pernah jengkel karena sang menteri tidak hadir saat premier filmnya, Merry Ryana – Mimpi Sejuta Dollar. Hari gini, bentuk paling jelas dari sebuah komitmen adalah bersedia menyiapkan anggaran.

Komitmen Kemendikbud terhadap dunia film sebenarnya sudah dibuktikan sejak jauh-jauh hari. Yaitu dengan menyelenggarakan Apresiasi Film Indonesia (AFI) – sebuah festival film yang mirip dengan FFI, walau  sedikit pembelokan kriteria; melakukan alih media film-film di Sinematek Indonesia yang menghabiskan anggaran Rp.3 milyar untuk 29 judul film (kini dengan alat bantuan Ford Foundation yang dimiliki Sinematek Indonesia, alih media satu judul film hanya butuh dana Rp.10 juta); membeli 60 mobil untuk pemutaran film keliling seharga puluhan milyaran rupiah (proyektor seluloid di mobil itu akhirnya mubazir karena film tidak lagi menggunakan seluloid); mengadakan jambore film pendek dan banyak kegiatan perfilman lainnya.

Bagi Kemendikbud, mengurus perfilman merupakan peluang baru untuk menciptakan proyek-proyek baru. Untuk itu dibutuhkan ide-ide segar dari kalangan insan film, tentang kegiatan dan apa yang dibutuhkan, supaya pengajuan anggaran terdengar rasional, dan DPR tidak jadi ribet. Penting juga dijaga jangan sampai endingnya ke KPK.

Dalam menyambut Hari Film ini ada banyak kegiatan yang akan dilakukan. Sebagian hanya bernuansa proyek, sebagian lagi menyiratkan utopia. Niat Kemendikbud untuk membuat museum film di gedung bekas Studio PFN di Jalan Otista Jakarta adalah proyek yang akan diwujudkan dalam waktu dekat.

Keinginan untuk membuat museum film itu agak mengherankan mengingat, pertama, jika melihat sejarah perfilman Indonesia, baru kali ini terpikir untuk membuat musium.  Yang kedua, benda-benda apa yang akan ditaruh di museum tersebut? Apakah termasuk proyektor bangkai dari mobil-mobil keliling yang dibeli dari anggaran Kemendikbud termasuk yang akan ditaruh di museum itu? Apakah film-film dan benda lain yang berkaitan dengan film yang ada di Sinematek Indonesia atau di Arsip Nasional Indonesia (ANRI) juga akan dipindahkan ke musium film itu?

Keinginan membuat musium itu cukup menggelikan, seolah-olah ada sebuah keperdulian baru tentang masa lalu yang harus dijaga dan dilestarikan, atau diperlukan tempat untuk menyimpan benda-benda penting yang ada kaitannya dengan dunia film – bisa jadi Piala Citra yang pernah dikembalikan oleh insan film pada tahun 2006 lalu akan diminta dari Sinematek Indonesia untuk diletakan di musium itu.

Mengapa disebut kesadaran baru? Karena selama ini kita semua, baik insan film maupun pemerintah tidak sadar akan pentingnya menjaga atau melestarikan benda-benda yang terkait sejarah perfilman. Kalau memang perduli, mengapa nasib Sinematek Indonesia saat ini begitu merana? Padahal di Sinematek tersimpan arsip-arsip penting yang bisa menggambarkan sejarah film Indonesia. Pemerintah maupun insan film tidak pernah menganggap Sinematek Indonesia itu penting, sehingga tidak ada keperdulian yang kongkrit terhadap arsip film tersebut.

Sekarang ujug-ujug timbul gagasan untuk membuat musium film. Dan ini pasti sebuah proyek besar, karena dibutuhkan dana besar untuk merenovasi gedung eks Studio PFN yang sudah seperti sarang hantu, belum lagi bagaimana menyiapkan kebutuhan interior dan kelengkapan lain sebagaimana layaknya sebuah musium film.

Lalu yang terdengar utopis adalah gagasan untuk merestorasi film-film lama Indonesia, sebagaimana disampaikan oleh artis Wulan Guritno. Menurutnya untuk merestorasi satu judul film saja akan dibutuhkan dana Rp. 2 milyar. Jika begitu banyak judul film lama yang ada di Sinematek Indonesia saat ini – jumlahnya mencapai ratusan, berapa banyak dana yang dibutuhkan untuk merestorasi film-film tersebut?

Keinginan untuk merestorasi film-film lama itu bagus. Artinya masih ada keinginan untuk menjaga dan melestarikan film-film yang pernah mengisi sejarah perfilman di Indonesia. Pertanyaannya kemudian, darimana uang yang dibutuhkan bisa didapat. Dalam konperensi pers Wulan Guritno mengatakan akan mencari orang-orang/donatur yang mau mengadopsi film Indonesia.  Nampaknya itu merupakan gagasan orsinil yang sulit untuk direalisasikan.

Restorasi terhadap film Indonesia pernah dilakukan pada tahun 2011, yaitu untuk film “Lewat Djam Malam” karya Usmar Ismail. Restorasi film itu didanai oleh National  Museum of Singapura (NMS) yang bekerjasama dengan Yayasan Konfiden dan Sinematek Indonesia. Proses restorasi dilakukan di Bologna, Italia.  Tahun 2014 lalu, Kemendikbud membiayai restorasi film “Darah dan Doa”.

Di tengah sepinya penonton bioskop yang menyaksikan film-film Indonesia saat ini, yang perlu dilakukan adalah bagaimana mencari jawaban terhadap persoalan itu. Mungkin perlu dilakukan riset, mengapa penonton menjauhi film Indonesia. Atau jangan-jangan malah sebaliknya, film Indonesia yang menjauhi penonton. Jika diibarat kan barang dagangan, film Indonesia saat ini memang tidak menarik minat pembeli. Untuk pembeli kalangan menengah ke atas kualitas film Indonesia masih dianggap ecek-ecek, sementara bagi masyarakat bawah justru dianggap terlalu diawang-awang. Sayang ketika anggaran ada, gagasan untuk melakukan riset kembali menguap. (hermanwijaya61@gmail.com)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun