Mohon tunggu...
Herman Wijaya
Herman Wijaya Mohon Tunggu... profesional -

Penulis Lepas.

Selanjutnya

Tutup

Olahraga Pilihan

Menyikapi Kegagalan Timnas U-19: Meratap atau Menatap?

13 Oktober 2014   23:53 Diperbarui: 17 Juni 2015   21:10 118
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Olahraga. Sumber ilustrasi: FREEPIK

Gol yang dilesakan Jaushua Soritio dari Timnas U-19 Australia ke gawang Ravi Murdianto, bukan saja mengandaskan perjuangan Timnas U-19 kebanggaan Indonesia ke babak selanjutnya; tetapi gol itu pun telah memupus asa ratusan juta rakyat Indonesia. Impian untuk melihat Timnas Indonesia berjaya di tingkat Asia, akhirnya kandas.

Kita tidak bisa menyalahkan Evan Dimas dan kawan-kawan yang gagal menunjukkan keperkasaannya. Juga tidak elok menunjuk hidung coach Indra Sjafri sebagai biang kegagalan. Semua anggota tim pastinya sudah berusaha. Kita hanya patut menyalahkan diri sendiri, karena bermimpi terlalu tinggi terhadap persepakbolaan Indonesia.

Berbeda dengan permainan yang ditunjukkan pada AFF tahun 2013 lalu, di mana Indonesia menjadi juara, bahkan mengalahkan tim kuat Korea Selatan, pada Piala Asia U-19 tahun ini terlihat perbedaan yang sangat mencolok. Stamina dan daya juang pemain di lapangan menurun, kreativitas kurang terbangun, dan kemampuan menjaga lawan tidak terlihat dengan baik. Hal itu sebenarnya sudah terlihat sejak Timnas U-19 bermain dalam Turnamen Piala Halssanah Bolkiah di Brunei Darussalam.

Tetapi sebagian penggemar sepakbola masih merasa maklum, dan segera melupakan kepahitan itu. Apalagi kemudian segera disusul dengan kegiatan beruntun mengadakan tur ke Spanyol, dan bertanding dengan tim yunior klub-klub besar dan terkenal seperti Real Madrid, Barcelona, Ateltico Madrid B, Valencia. Hasil maksimal dari tur itu adalah seri melawan Valencia B. Itu pun masyarakat tak mempersoalkan.

Eforia atas keberhasilan Timnas U-19 tahun lalu memang membuat impian masyarakat melambung, lalu merasa inilah saatnya sepakbola Indonesia bangkit. Target pun langsung dipasang tinggi: Juara Piala Asia di Myanmar, dan masuk ke Piala Dunia Yunior. Target itu dirasa tidak terlalu berlebihan, mengingat Timnas U-19 mampu mengalahkan Timnas U-19 Korsel, salah satu negara Asia langganan Piala Dunia.

Sekarang impiah itu sudah kandas. Perjuangan Timnas U-19 patut diapresiasi, walau berakhir dengan kegagalan. Pertanyaannya kini adalah, apakah kita harus meratap (atas kegagalan) atau menatap (masa depan persepakbolaan Indonesia).

Tentu kita tak boleh meratap terlalu lama. Kita harus menatap masa depan dengan penuh optimisme, bahwa kita bisa bangkit, dan bisa berbicara pada pentas sepakbola...Asia. Jangan terlalu muluk untuk berkiprah di tingkat dunia, karena terlalu banyak persyaratan yang harus dilalui. Dibutuhkan waktu yang panjang, konsep pembinaan yang benar, dan tentu saja sumberdaya yang memenuhi syarat untuk itu.

Untuk menggapai prestasi internasional, hal pertama yang harus diperbaiki adalah sumberdaya manusia. Dibutuhkan anak-anak Indonesia yang bergizi baik, agar memiliki fisik dan tingkat kecerdasan yang baik. Selain itu, faktor bakat juga tidak bisa dikesampingkan begitu saja. Tanpa bakat yang baik, akan sulit melahirkan pesepakbola yang trampil. Pelatihan memang bisa memperbaiki kemampuan seseorang, tetapi faktor intuisi, fleksibilitas gerakan tubuh, kecepatan berlari dan kemampuan mengecoh lawan, lebih baik dimiliki karena faktor bakat.

Untuk menjadi pemain sepakbola, faktor fisik sangat menentukan. Kelebihan fisik sudah memberikan keunggulan lebih dibandingkan pemain yang memiliki tinggi tubuh kurang. Fisik orang Indonesia rata-rata lebih pendek dibandingkan tubuh orang-orang Eropa, Afrika, atau beberapa negara Asia seperti Jepang dan Cina, yang sudah memiliki tubuh lebih tinggi.

Memang ada pemain internasional yang memiliki tubuh kurang tinggi bermain di liga-liga Eropa, seperti Lionel Messi, Sergio Aguero, Carlos Tevez, David Silva, Xavi Hernandes, Philip Lam dan beberapa nama lainnya. Tetapi skill mereka tidak diragukan, selain mampu beradu badan dengan pemain yang lebih tinggi dan besar. Bagi mereka, tubuh yang kecil justru menguntungkan, karena bisa bergerak lebih lincah dibandingkan pemain-pemain yang bertubuh tinggi.

Pemain Indonesia yang bertubuh kecil juga lincah. Tetapi teknik bermain yang lemah serta stamina yang cepat terkuras, membuat lawan lebih mudah mengatasinya. Itulah yang kita lihat bila tim sepakbola Indonesia berhadapan dengan tim-tim sepakbola dari Afrika, Eropa, Amerika, atau bahkan dari beberapa negara Asia.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Olahraga Selengkapnya
Lihat Olahraga Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun