Mohon tunggu...
Herman Wijaya
Herman Wijaya Mohon Tunggu... profesional -

Penulis Lepas.

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Keluhan Manoj Punjabi: Bukti Orang Film Terlalu Manja!

17 Januari 2015   06:51 Diperbarui: 17 Juni 2015   12:58 584
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hiburan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Rawpixel

Baru-baru ini sebuah tabloid menulis tentang pernyataan  produser film, Manoj Punjabi dari MD Entertainment, yang mengungkapkan kekecewaannya karena Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Anies Baswedan tidak menghadiri pemutaran film barunya, yang berjudul Merry Riana – Mimpi Sejuta Dolar. Film itu diputar khusus untuk undangan, dan salah satu undangan yang diharapkan hadir adalah Mendikbub.

“Mendikbud mengecewakan. Kita undang tidak datang. Harus film seperti apa lagi yang kita buat. Apakah harus menunggu presidennya datang dalam gala premier, baru menterinya datang,” kata Manoj sebagaimana ditulis dalam tabloid.  Manoj juga mengaku telah mengirim undangan resmi dan undangan melalui sms ke nomor menteri.

Kalau memang ucapan itu benar, sungguh tidak patut kalimat yang dikeluarkan oleh seorang produser film kepada seorang menteri, pejabat negara yang diangkat oleh Presiden. Kalimat itu juga menunjukkan, bukan saja Manoj tidak arif, tetapi juga menunjukkan ketidakpahamannya akan tugas dan kesibukan seorang menteri.

Katakanlah ia telah membuat film bagus, dan terbukti memang sampai saat ini Merry Riana masih menjadi film Indonesia terlaris di bioskop, dan telah mengumpulkan hamper 600 ribu penonton. Tetapi pertanyannya, apakah setiap pemutaran film Indonesia wajib disaksikan oleh seorang menteri, sekalipun menteri itu berasal dari kementerian yang memang mengurusi perfilman. Dalam UU No.33 tahun 2009 tentang perfilman, perfilman berada di bawah Kemendikbud.

Melalui complain yang diekspose media tersebut Manoj seolah menunjukkan bahwa dirinya adalah orang istimewa di perfilman Indonesia, karena itu patut mendapat perhatian khusus oleh pejabat pemerintah setingkat menteri. Padahal keperdulian Manoj terhadap perfilman nasional jelas tidak lebih dari pada peran seorang pedagang, yang melihat peluang keuntungan melalui bisnis film. Satu-satunya yang tabu bagi pedagang adalah rugi. Apa pun akan diperbuat sejauh itu menghasilkan untung. Syukur tidak melanggar hukum.

Tahun 2012 perusahaan yang dipimpinnya mendatangkan artis terkenal India Shahrukh Khan ke Indonesia. Pertunjukan Shahrukh yang cukup spektakuler di Sentul Convention Center mendapat liputan luar biasa dari media massa. Dan penyelenggaraan itu berlangsung tepat pada saat Malam Puncak FFI 2012 yang berlangsung di Benteng Vredeburg Yogyakarta. Akibatnya perhatian masyarakat terbelah. Dan FFI yang memang “kalah kelas” dalam popularitas dibandingkan Shahrukh Khan, kurang mendapat perhatian.

Bahkan dari banyak insan film yang perhatiannya lebih tertuju ke konser Shahrukh Khan,  sekalipun FFI digadang-gadang sebagai hajat insan film. Kalau promotor pertunjukkan Shahrukh Khan – yang katanya orang film – bijak, tentu tidak mungkin menggelar acara spektakuler yang berlangsung pada saat bersamaan dengan hajat insan film. Sebagai produser, sudah selayaknya Manoj mendukung FFI dengan cara berpartisipasi penuh dalam ajang itu. Tetapi itu tidak dilakukan.

Komplain Manoj terhadap Mendikbud – kalau apa yang ditulis tabloid itu benar – makin menunjukkan karakter insan film Indonesia yang  manja, selalu ingin mendapat perhatian lebih dari pemerintah.

Selama ini perfilman memang mendapat tempat tersendiri bagi  pemerintah. Dibuatkan Undang-undang, disediakan anggaran, difasilitasi untuk mengadakan berbagai kegiatan, bahkan pajak pun dikembalikan! Khususnya pajak tontonan (Pto) yang ditarik oleh Pemerintah Daerah Khusus Ibukota (DKI) Jakarta. Konon ini untuk produser yang menjadi anggota Persatuan Perusahaan Film Indonesia (PPFI).

Bayangkan, produser film yang selalu hidup bergelimang kemewahan, pajaknya dikembalikan oleh pemerintah daerah Jakarta. Padahal pengrajin tahu / tempe, perusahaan konveksi yang cuma membuat pakaian dalam dari limbah kain, atau pedagang kue kering, yang berpeluh keringat setiap hari, tetapi tidak pernah mengeluh dan mendapat pengembalian pajak!

Pemda DKi juga seharusnya lebih berpihak kepada pedagang kecil, bukan produser film yang mewah itu.  Karena itu, hentikan pengembalian pajak tontonan untuk produser film Indonesia! Kecuali ada jaminan membuat film yang dapat memberi pencerahan kepada masyarakat,  melalui film yang akan dibuatnya setelah mendapat pengembalian pajak.

Keistimewaan-keistimewaan yang diperolehnya selama ini, telah membuat insan film terlalu manja. Karena menjadi anak manja, produk yang dihasilkan pun tidak istimewa.  (hw16661@yahoo.com)

Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun