Mohon tunggu...
Herman Wijaya
Herman Wijaya Mohon Tunggu... profesional -

Penulis Lepas.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Emang Enggak Enak Kok Jadi Minoritas!

26 September 2014   02:10 Diperbarui: 17 Juni 2015   23:30 170
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Kelompok minoritas di mana pun di dunia selalu ada. Jadi bukan hanya di Indonesia. Dan nasib minoritas di mana-mana juga sama, kerap jadi bahan tertawaan, dihina, mengalami ketidakadilan dan bahkan ancaman kematian. Pengalaman tidak enak bagi minoritas sudah ada sejak jaman dulu kala. Nabi Musa harus membawa kaumnya orang-orang Yahudi dari Mesir ke Tanah Perjanjian (Wilayah Palestina), karena ditindas di Mesir.

Sejarah juga mencatat Hitler membunuhi orang Yahudi - minoritas di Eropa, khususnya Jerman - di kamar gas; kemudian yang masih hangat sekarang ini, bagaimana Kaum Rohingya harus dianiaya di Myanmar; orang-orang Indian Amerika yang harus hidup di wilayah khusus karena kini jadi minoritas di tengah bangsa Eropa yang menguasai tanahnya; begitu pula orang-orang aborigin di Australia, dan bahkan orang Yahudi yang dulu tertindas, kini jadi penindas. Penindasan terhadap kaum minoritas masih terjadi di mana-mana. Baik atas nama etnis, agama, atau golongan (SARA).

Di tengah perlakuan diskriminatif, rasis dan bahkan penindasan yang kerap dialaminya tidak sedikit kaum minoritas yang justru bisa keluar dari keadaan menyesakkan, kemudian mengalami hidup lebih baik dari orang yang memusuhinya. Di Indonesia banyak kaum Tionghoa yang hidup sukses dan sangat menentukan dalam perekonomian. Padahal mereka tidak sebebas masyarakat pribumi dalam menjalani haknya sebagai warganegara.

Tekanan-tekanan yang dialami memang membuat kaum minoritas menjadi lebih kuat, lebih ulet dan lebih kreatif. Prinsip orang tertindas adalah harus mampu menolong diri sendiri, karena tidak mungkin orang lain menolongnya. Pengusaha-pengusaha Tionghoa di Indonesia selain pekerja keras, dikenal pula dekat dengan pejabat dan suka menyogok. Cara itu dilakukan semata-mata agar bisnisnya lancar, tidak diganggu. Sebab kalau tidak begitu, ada saja yang datang cari gara-gara. Menyogok itu akhirnya menjadi kebiasaan, karena dengan cara itulah dia bisa ke luar dari persoalan dan bahkan menjadi pemenang!

Sebagian dari kita mungkin pernah mendengar anekdot seorang pedagang keturunan Tionghoa yang ngegerundel gara-gara didatangi oleh pemuda yang minta sumbangan. “Haiyaaaa…, Pancasila lagi Pancasila lagi..,” katanya.

Peminta sumbangan sebenarnya datang kepada siapa saja. Tapi kalau ada pedagang atau pengusaha non pribumi, pasti itu jadi sasaran utama. Kalau permintaan itu tidak dituruti, ada saja masalah yang akan dihadapi oleh si pedagang atau pengusaha itu. Karena perlakuan-perlakuan semacam itu banyak pedagang atau pengusaha non pribumi yang menghindari untuk tinggal atau membuka usaha di tempat di mana ia terlihat sangat mencolok sebagai warga non pribumi.

Sikap rasis itu bukan hanya terjadi di kawasan pedesaan yang mayoritas penduduknya kurang pergaulan atau berpendidikan. Di kota besar pun hal itu kerap kita temui. Kita masih ingat bagaimana peristiwa SARA tahun 1998 yang menyasar etnis Tionghoa di Jakarta dan beberapa kota besar di Indonesia. Dan yang paling baru adalah, demo Front Pembela Islam (FPI) terhadap Wagub DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama menunjukkan bahwa kaum minoritas belum bisa mendapatkan haknya sebagaimana dijamin Undang-undang.

Jadi minoritas memang tidak enak. Penulis sudah lama mengalaminya. Bahkan untuk belajar pencak silat gombel saja sempat dipersoalkan karena bukan dari agama mayoritas. Kalau pikiran sedang melayang, sempat juga terlintas ucapan, “Apa sih maksud Tuhan menaruh saya di bumi ini?” (herman wijaya / hw16661@yahoo.com)

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun