Sebagai wilayah penyangga Jakarta, Kota Depok menunjukkan perkembangan yang sangat pesat. Jumlah penduduk terus bertambah, dan property bertumbuh setiap hari. Di Depok tidak boleh ada tanah "nganggur". Sedikit saja ada tanah agak luas, pengembang dengan sigap memburunya. Ujung-ujungnya tanah itu dalam tempo tidak terlalu lama sudah berubah menjadi perumahan. Bagi pengembang yang kreatif, tanah 100 meter pun bisa dijadikan 2 buah rumah mini yang laris manis. Akibatnya bisa dirasakan, Depok semakin hari semakin sesak, panas dan pengab.
Warga Pancoran Mas yang dekat dengan stasiun kereta api Depok Lama lebih beruntung, karena masih ada tanah luas yang memberikan udara segar. Yakni Cagar Alam Pancoran Mas, Lapangan KONI yang letaknya bersebelahan dengan Cagar Alam, dan tanah Perikanan Darat yang sebagian besar masih digunakan untuk kolam ikan penelitian. Kalau mau dihitung dengan tanah Kavling Depkes seluas 26 hektar yang saat ini masih jadi tanah sengketa, tanah kosong di Pancoran Mas cukup luas.
Cagar Alam Pancoran Mas merupakan hutan mini yang masih tersisa di Depok. Hutan seluas 6 hektar itu peninggalan "Penguasa" Depok di jaman kolonial, Corenelis Chastelein itu masih terawat sampai saat ini. Walau pun kalau mau jujur, perawatan dan pengawasannya tidak maksimal, sehingga masyarakat sekitar masih membuang sampah di tempat itu, dan ada saja orang-orang yang menangkapi burung yang hidup di cagar alam itu. Penulis yang tinggal berdampingan dengan cagar alam itu beberapa kali menemukan jaring yang dipasang untuk menjebak burung.
Saat ini di cagar alam Pancoran Mas memang terdapat beberapa jenis hewan yang hidup, seperti musang, ular, burung, tupai dan berbagai spesies serangga. Akan tetapi spesies ular yang kerap terlihat di Cagar Alam Pancoran Mas mulai berkurang. Seperti ular tanah (beludak) atau ular Sanca sudah jarang diketemukan. Ular beludak mungkin sudah habis karena predatornya, ular kobra kini banyak ditemukan di sana. Ular Sanca juga mulai sulit ditemukan, karena sungai yang mengalir di sebelah Timur Cagar Alam sudah dipenuhi oleh rumah-rumah.
Musang masih bisa diketemukan, terutama pada saat musim rambutan seperti sekarang ini. Kebetulan di rumah penulis ada pohon rambutan yang sedang berbuah, dan setiap malam musang datang untuk memakan rambutan.
Keberadaan Cagar Alam Pancoran Mas sangat bermanfaat bagi masyarakat sekitar. Karena selain udara menjadi lebih sejuk, juga menjadi penangkap air yang baik, sehingga sumur-sumur warga jarang kekurangan air -- kecuali bila terjadi kemarau panjang.
Kelestarian Cagar Alam Pancoran Mas kini mulai terancam. Baru-baru ini beberapa orang Anggota Komisi B Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kota Depok meninjau ke tempat itu. Dari informasi yang diperoleh, anggota DPRD Kota Depok menjelaskan kepada beberapa warga sekitar bahwa ada rencana Cagar Alam Pancoran Mas akan dijadikan Taman Hutan Rakyat (Tahura). Menurut seorang tokoh setempat kepada penulis, dengan Tahura itu nanti di dalam Cagar Alam akan dibangun tempat rekreasi sederhana untuk warga atau membangun lintasan lari (jogging track), supaya masyarakat bisa berolahraga. "Kita sih sebagai warga mendukung aja kalau untuk kebaikan," kata tokoh masyarakat itu.
Ide untuk menjadikan Cagar Alam Pancoran Mas untuk menjadi Tahura sebenarnya sudah tercetus sejak belasan tahun lalu. Bahkan sudah ada panitia yang terbentuk. Bahkan -- entah dari mana asalnya -- nama penulis pun dimasukan di dalam stuktur kepanitiaan itu. Waktu itu penulis menolak dengan keras, bukan saja karena nama penulis dimasukan ke dalam struktur panitia, tetapi karena ide untuk menjadikan Cagar Alam Pancoran Mas sebagai Tahura adalah suatu sesat pikir yang harus diluruskan. Manfaat apa yang bisa diperoleh dengan Tahura seluas 6 hektar? Apakah itu tidak akan merusak ekosistem Cagar Alam Pancoran Mas? Lalu kalau Cagar Alam Pancoran Mas rusak, bagaimana menggantikannya? Apalagi menurut para ahli, banyak flora asli yang belum diteliti di Cagar Alam Pancoran Mas itu.
Menurut hemat penulis, Cagar Alam Pancoran Mas lebih baik dijaga keasriannya seperti sekarang ini. Jangan ada lagi ide untuk memanfaatkannya untuk menjadi tempat rekreasi atau kegiatan lain yang dapat mengganggu ekosistem di sana. Jangan pula ada ide bodoh melakukan penanaman pohon seperti beberapa tahun lalu yang, bukan saja tidak tepat, tapi pada gilirannya hanya menjadi ajang korupsi. Biarkah Cagar Alam Pancoran Mas mengikuti perjalanan waktu dengan apa yang dimilikinya. Kewajiban kita adalah menjaga agar kekayaan Cagar Alam Pancoran Mas tidak terusik. Pemerintah hanya perlu menyediakan petugas untuk menjaganya, dengan catatan petugas itu harus mendapat imbalan yang layak. Bukan hanya sekedar petugas kebersihan seperti sekarang ini yang hanya bertugas di sudut-sudut tertentu, dan tidak bisa berbuat apa-apa ketika ada yang mengusik penghuni cagar alam. Kabarnya honor petugas itu pun sangat kecil.
Bila mendengar cerita tokoh masyarakat kepada penulis, niat Anggota DPRD Kota Depok sangat kencang. Semangatnya untuk "merubah" Cagar Alam Pancoran Mas menjadi Tahura, menggebu-gebu. Akankah kita masih bisa melihat keasrian Cagar Alam Pancoran Mas di masa mendatang? Walahualam. Semoga Cagar Alam Pancoran Mas suatu saat tidak hanya tinggal kenangan. (herman wijaya, warga Pancoran Mas)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H