Rupiah terus melemah dalam beberapa hari terakhir. Jumat (31/8/2018l), satu dolar AS setara dengan Rp 14.729. Kepala Departemen Pengelolaan Moneter BI Nanang Hendarsah sebelumnya menjelaskan, tekanan yang terjadi pada rupiah dipicu oleh faktor eksternal. Yakni revisi data produk domestik bruto (PDB) Amerika Serikat (AS) kuartal II.
Terpisah, Ekonom Bank Mandiri Andry Asmoro mengatakan pelemahan nilai tukar rupiah ini didominasi karena ketidakpastian global yang masih berlangsung.
Tantangan global, kata Andry, berupa krisis ekonomi Turki dan perang dagang Amerika Serikat (AS) dengan China. Selain itu, kondisi defisit transaksi berjalan (CAD) pun menjadi salah satu penyebabnya.
Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Wimboh Santoso mengatakan, Indonesia memiliki fundamental ekonomi yang kuat. Jadi persoalannya bukan karena faktor di dalam negeri.
Lepas dari argumen para ahli keuangan, pelemahan rupiah tetap membuat ketar-ketir. Penguatan rupiah pada gilirannya akan disusul dengan meningkatnya harga barang. Beban utang yang harus dibayar pemerintah atau swasta semakin besar.
Benarkah merosotnya nilai tukar rupiah terhadap dolar akibat faktor-faktor yang dipaparkan para ahli? Apakah pelemahan rupiah tidak ada kaitannya dengan "hukuman" Amerika terhadap pemerintahan Jokowi?
Sebelumnya, dalam dokumen yang dipublikasikan oleh Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) yang berbasis di Jenewa pada 6 Agustus 2018, AS meminta organisasi multilateral itu untuk menjatuhkan sanksi kepada Indonesia sebesar US$ 350 juta (setara Rp 5 triliun).
Permintaan itu, menurut alasan AS, disebabkan karena Indonesia tak melaksanakan putusan WTO yang memenangkan gugatan Negeri Paman Sam terkait kebijakan pembatasan impor yang diterapkan oleh Jakarta.
Lewat gugatan itu, AS mendesak Indonesia untuk melonggarkan kebijakan impornya agar produk ekspor dari Negeri Paman Sam bisa masuk ke Tanah Air. Desakan itu muncul, di tengah upaya pemerintah RI yang tengah mengejar swasembada pangan dan melepaskan ketergantungan dari impor produk asing.
AS menggugat Indonesia melalui WTO pada 2013, karena Jakarta menerapkan pembatasan impor terhadap sejumlah produk hortikultura dan peternakan --yang menjadi andalan ekspor Amerika ke Indonesia.
Kebijakan itu, klaim Washington, merugikan keuntungan ekspor AS ke Indonesia hingga sebesar US$ 350 juta per tahun 2017. Nominal itu kemudian dijadikan retaliasi oleh AS dalam mengusulkan sanksi terhadap Indonesia via mekanisme WTO.