Walau pun berusaha menghadirkan gambar-gambar menawan, sutradara Azhar Kinoy Lubis tetap mampu menjaga nilai dramatik, plot yang apik dan bisa diikuti. Tidak ada teror penonton melalui kehadiran hantu yang tiba-tiba dengan efek suara keras mengagetkan. Musik yang dikerjakan oleh Anggi Narottama dan Bemby Gusti dalam film ini tidak berlebihan dan dibuat-buat seperti film horor kebanyakan.
Kinoy Lubis lebih menggiring penonton untuk masuk ke dalam suasana adegan yang mencekam, melalui kondisi rumah tua, lampu-lampu temaram, suara-suara lirih dari lagu yang diputar dari piringan hitam maupun piano yang kadang berbunyi sendiri. Kalau pun ada suara gelegar, bukan dari musik yang disetel keras, melainkan bunyi halilintar saat hujan deras. Kilatan-kilatan cahaya halilintar justru menimbulkan kengerian tersendiri.
Kinoy juga mencoba memberikan sentuhan yang jarang muncul dalam film horor Indonesia, yakni gerakan-gerakan benda tanpa sentuhan tangan manusia, dan asap hitam yang masuk ke langit-langit. Efek visual itu cukup memberikan kesan misterus dan menambah tekanan kengerian bagi penonton.
Tata artistik dalam film ini sangat mendukung visualisasi. Gambar terasa penuh, benda-benda yang muncul dalam gambar memperkuat situasi yang ingin ditampilkan. Lihatlah suasana dalam ruang praktek dukun Jarwo yang sangat mistis dan mencekam.
Namun bila kita kembali pada adagium "tidak ada yang sempurna di dunia ini", tentu saja ada kelemahan juga dalam film ini. Casting (pemilihan) pemain masih menjadi masalah klasik dalam film Indonesia.Â
Para pembuat film masih diliputi sindrom tertentu, sehingga pemilihan pemain untuk memerankan tokoh tertentu sering mengabaikan logika. Dalam film ini, tokoh Herman dan Sri terkesan masih terlalu muda untuk menjadi orangtua bagi kedua anak yang sudah beranjak dewasa seperti Andi (mahasiswa) dan Dyna (pelajar SMA).
Pembuat film masih diliputi ketakutan-ketakutan yang tidak pernah dilawan, yakni memilih pemeran orangtua yang sesuai dengan usia anak-anaknya. Dalam sinetron televisi malah, banyak tokoh orangtua -- terutama tokoh ibu -- yang nyaris sebaya dengan usia anaknya, hanya diberi warna putih pada rambutnya. Secara fisik tak kalah segar dengan anaknya.
Apakah pemilihan pemain seperti itu kiat untuk berjualan semata atau hanya ketakutan-ketakutan tidak berdasar yang tak berani dilawan, fenomena itu terus berlangsung sampai saat ini. Â Sejauh ini penonton memang tidak mempersoalkan (atau memang suka) sehingga pembuat film melakukan kompromi yang sesungguhnya telah mengurangi nilai artistik sebuah film.
Dalam film ini untungnya sutradara Azhar Kinoy Lubis mampu mengeksploitir kemampuan pemain sehingga kelemahan penokohan tidak terlalu terasa. Para pemain dalam film ini memang telah mengerahkan segala kemampuannya, sehingga akting mereka terasa total dan sangat wajar dengan karakter yang diperankannya. Semua itu tentu tidak lepas dari kecermatan sutradara. Â
Kafir -- Bersekutu Dengan Setan adalah sebuah film bergenre horor yang berbeda dengan film dengan genre serupa yang telah ada, meski pun ada sedikit yang "menyerupai" film Pengabdi Setan di sini, baik dalam tema maupun pengadegan yang dibuat. Namun itu tidak mempengaruhi keasyikan menikmati film ini.
Bagi penggemar film Indonesia fanatik yang belum menyaksikan film ini, mungkin berpikir ini adalah remix dari film berjudul Kafir (Satanic)Â karya sutradara Mardali Syarief (almarhum) tahun 2002. Kebetulan produsernya sama dan juga dibintangi oleh Sudjiwo Tedjo.