Jika tak ada Kebun Raya Bogor, entah keindahan apalagi yang bisa dilihat di Bogor. Jalan-jalan yang tidak bertambah besar sejak puluhan tahun lalu, macet di mana-mana; dipenuhi angkot yang ngetem sembarangan dan selalu diramaikan oleh suara pengamen. Trotoar juga dipenuhi pedagang. Bogor sebagai sebuah kota, hanya sedikit terlihat di Jl. Pajajaran. Tetapi kerinduan untuk menikmati kuliner Kota Bogor selalu mengusik. Sesekali ingin juga menikmati soto kuning di Gang Aut, Suryakencana, toge goreng (padahal direbus) di Gg. Baru, nasi uduk pinggir jalan di dekat BTM atau masakan Sunda ala di Jl. Bina Marga.
Senin, 17 Juni 2018 lalu, bersama dua orang rekan saya pergi ke Bogor dua hari setelah Idul Fitri 1439 H. "Ada rumah makan Sunda enak," kata salah seorang teman.
Jadilah kami berangkat ke Bogor menggunakan KRL commuterline.
Sampai di Bogor, seperti biasa, stasiun penuh sesak oleh calon penumpang dan yang baru saja turun dari kereta api. Situasi semacam ini selalu terjadi setiap hari libur. Sayangnya, PT Kereta Api tidak pernah mencermati keadaan ini. Penumpang kereta api yang ingin ke luar stasiun dan yang baru masuk dibiarkan berjejalan di pintu ke luar sebelah barat.
Ke luar dari stasiun Bogor membutuhkan perjuangan. Terutama bagi lansia dengan tujuan Bogor Barat. Mereka harus naik jembatan penyeberangan yang terjal, penuh sesak dan harus toleran dengan pengemis, pedagang asongan dan pedagang yang menggelar dagangannya di jembatan penyeberangan.
Mereka yang ingin menuju ke Timur -- arah Kebun Raya -- juga tak kalah menderita. Selain harus berdesak-desakan di koridor yang sempit, harus pasrah pula dengan cuaca. Kalau panas kepanasan, kalau hujan, basah kuyup.
Selain Bogor, di beberapa stasiun kereta api PT KAI memang tidak menyediakan atap di koridor ke luar masuk penumpang. Seperti di Manggarai, Cikini, Gondangdia dan Sawah Besar. Sedangkan penumpang mau tak mau harus melewati koridor itu, karena pihak stasiun tidak membuka akses langsung ke jalan begitu ke luar stasiun, tetapi harus memutar terlebih dahulu. Tidak heran jika banyak yang mengambil jalan pintas, melompati pagar yang tidak terlalu tinggi.
Entah kenapa PT KAI seperti memposisikan stasiun kereta api seperti heritage yang harus dilindungi dari penumpang. Para penumpang dibiarkan harus kepanasan dan kehujanan tanpa perlindungan. Padahal aktivitas petugas di stasiun terlihat tidak terlalu sibuk. Di Stasiun Cikini malah ruangan yang luas, sejuk dan berkeramik hanya dijadikan tempat parkir karyawan.
Di stasiun Bogor memang dibuatkan koridor beratap di Barat. Tetapi umumnya penumpang malas ke luar dari pintu Barat, karena harus jalan jauh memutar. Dari pun kalau naik angkot menuju kawasan Bogor Timur memakan waktu lebih lama, karena jalan yang macet dan angkot suka ngetem.
Kembali ke perjalanan kami sore itu. Kami naik angkot 03 jurusan terminal Baranangsiang yang ngetem di depan Kantor Bank BCA di Jl. Dramaga Raya, setelah melewati trotoar di depan Taman Topi yang padat oleh lalu lalang manusia dan pedagang asongan.Â
Angkot 03 tujuan Terminal Baranangsiang harus masuk dulu mulut jalan tol Jagorawi dan kemudian ke luar lagi di Jl. Raya Bogor - Sukabumi. Kami turun di depan sebuah supermarket, lalu menerobos parkiran supermarket tersebut yang tembus ke jalan Kantor Pos. Di jalan itulah rumah makan yang kami tuju.