"Ini kelewat batas. Memangnya saya pelaku kriminal? Memangnya saya koruptor? Memang saya korupsi uang negara? " kata Matheus Mangentang, Rektor Sekolah Tinggi Theologia Injili Arastamar (STT Setia), usai mengikuti sidang di Pengadilan Negeri Jakarta Timur (PN Jaktim), Senin (25/5/2018) siang.
Mangentang tak mampu menyembunyikan kekecewaannya. Betapa tidak, siang tadi Jaksa Asnawi, SH, menuntutnya kurungan sembilan (9) tahun penjara dan denda Rp.1 miliar, atas dakwaan telah menyelenggarakan pendidikan tanpa ijin dan mengeluarkan ijazah secara tidak sah, pada Program PGSD yang sudah ada pada tahun 2003 - 2009. Bersama Mangentang tuntutan yang sama juga ditujukan kepada  Direktur Pendidikan STT Setia, Ernawaty SimbolonÂ
"Saya ini penyelenggara pendidikan. Dari ribuan mahasiswa, 654 sudah lulus dan tersalur. Banyak yang jadi PNS. Yang lainnya mengajar di pedalaman. Â Apa lagi? Tuntutan itu tidak wajar, seolah olah saya pelaku kriminal, " kata Matheus Mangentang lagi. Matheus berharap dalam vonisnya nanti, Majelis Hakim melihat fakta fakta yang ada, antara lain, kasusnya sudah disidangkan beberapa kali dan dia bebas.
Mangentang nampak galau. Jerih payah mengabdi puluhan tahun dalam dunia pendidikan dan menolong anak-anak miskin di daerah, ternyata berbuah kepahitan.Â
"Saya puluhan tahun mendidik anak-anak miskin di daerah, sudah ribuan yang menjadi sarjana, bekerja di sektor swasta dan pegawai negeri, tapi apa yang saya dapat, saya dituntut lebih tinggi dari koruptor dan pembunuh. Padahal selama ini saya betul-betul mengabdi, saya tidak punya rumah, tidak punya kendaraan atau deposito, inilah yang saya hadapi," kata Mangentang dengan suara bergetar.
Persoalan berawal dari tuntutan 6 orang mantan muridnya yang merasa "tertipu" karena mendapat ijazah yang dianggap tidak sah karena tidak dikeluarkan oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Belakangan 4 orang memcabut laporan, dan seorang merasa tandatangannya dipalsukan. Matheus sudah pernah melaporkan ini, tapi tidak mendapat tanggapan dari aparat berwenang.
Sidang di PN Jaktim bukanlah perkara baru yang dihadapinya. Sebelumnya beberapa tahun lalu, ia pernah digugat secara perdata di PN Jakarta Barat, dan dipidanakan di PN Tangerang. Persoalan yang dihadapi masih sama, yakni soal pemalsuan ijazah. Namun dalam persidangan di dua pengadilan berbeda itu sampai tingkat kasasi, Mangentang menang.
Tak puas dengan hasil di PN Jakbar dan PN Tangerang, Matheus dilaporkan lagi di Jakarta Timur. Dia sempat ditahan oleh Jaksa selama 4 hari, sebelum statusnya berubah menjadi Tahanan Kota atas jaminan pengacaranya, ketika kasusnya dilimpahkan ke pengadilan.Â
Mangentang kembali harus menghadapi hakim dalam kasus yang sama, di pengadilan berbeda. Pengacaranya Tomy Sihotang SH berpendapat kasus ini nebis in idem (seseorang harus diadili lebih dari satu kali dalam perkara yang sama).
Saksi ahli Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Indonesia Dr. Eva Acjani Zulfa, S.H, M.H, yanh hadir minggu lalu (14/5) berpendapat sama.
Dr. Eva mencontohkan satu perbuatan pidana seseorang memecahkan kaca etalase milik orang lain. Dalam sidang orang tersebut dibebaskan, maka orang tersebut tidak bisa lagi diperkarakan dalam kasus yang sama.
Dari aspek hukum, penjatuhan sanksi pidana terhadap Matheus Mangentang dan Ernawaty Simbolon dinilai mubazir dan tidak memberi keadilan bagi terdakwa, karena dalam hukum pidana, penjatuhan sanksi pidana adalah tindakan terakhir (ultimum remedium). Selagi masih ada sanksi lain yang setimpal, yakni sanksi administratif, penjatuhan sanksi pidana tidak perlu.