[caption id="" align="aligncenter" width="632" caption="Desa Sei Limau, Kecamatan Sebatik Barat, Pula Sebatik, Kabupaten Nunukan, Kalimantan Timur adalah salah satu desa yang berbatasan langsung dengan wilayah Malaysia. (KOMPAS/PRASETYO EKO PRIHANANTO)"][/caption] Kabar tentang penangkapan perwira menengah polisi dari Polda Kalimantan Barat, AKBP Idha Endri Priastono dan anggota Polsek Entikong, MP Harahap oleh pihak kepolisian Malaysia, sangat mengagetkan. Ini bukan persoalan jeruk makan jeruk, tetapi “jeruk” Indonesia yang coba bermain di pasar ekspor, digerus oleh jeruk luar. Dugaan sementara, “jeruk” Indonesia itu berhama, atau mungkin pula terlalu banyak mengandung pestisida, sehingga melanggar standar “keamanan dan kesehatan” yang diberlakukan di Malaysia. Penangkapan terhadap dua anggota polisi Indonesia itu menurut versi polis Diraja Malaysia karena terlibat perdagangan narkotika internasional. Kedua polisi itu disergap setelah polisi Malaysia menangkap seorang wanita Filipina yang membawa narkoba. Mudah-mudahan tudingan polisi Diraja Malaysia itu tidak terbukti, sehingga kasus yang bisa menenggelamkan wibawa kepolisian Indonesia itu ditutup. Apa yang terjadi dengan dua anggota polisi dari jajaran Polda Kalbar itu mengingatkan penulis akan kondisi perbatasan Indonesia – Malaysia yang memang sangat rawan ke luar masuknya berbagai jenis barang, termasuk narkoba. Pada awal Mei 2014 lalu, penulis membuat film dokumenter tentang penyakit TB (tuberculosis) di Kabupaten Nunukan, Kalimantan Utara. Lokasi pembuatan film berada di Kecamatan Mansalong dan Kecamatan Lumbis yang berbatasan dengan Malaysia. Kecamatan Lumbis dan Kecamatan Mansalong itu dilewati oleh sebuah sungai yang cukup besar, yakni Sungai Sembakung. Melalui sungai itu mobilitas masyarakat berlangsung setiap hari. Untuk melakukan aktivitas, masyarakat biasa menggunakan ketingting, sejenis perahu yang menggunakan mesin, atau longboat, perahu yang agak besar menggunakan dua mesin. Hulu Sungai Sembakung terletak di Sabah, Malaysia, dan bermuara di selat dekat Tarakan. Karena hulu sungai terdapat di Sabah, masyarakat yang berada di hilir tidak bisa berbuat apa-apa jika ada “kiriman” dari hulu. Hujan di Sabah, banjir di Lumbis atau Mansalong. Bila musim banjir batang-batang kayu dari pohon roboh di hulu, ikut hanyut hingga ke hilir, yang menyulitkan pergerakan perahu di sungai. Jika tidak hati-hati, perahu bisa terbalik karena menabrak batang kayu besar. Dalam perjalanan dari Mansalong ke Sumentobol atau sebaliknya, longboat yang kami tumpangi terpaksa harus berhenti mendadak agar tidak menabrak batang pohon yang melintang di atas air. Lalulintas perahu di Sungai Sembakung cukup ramai. Bukan saja oleh lalu lalang masyarakat dari hulu ke hilir atau sebaliknya untuk berbagai keperluan, kerap lewat pula perahu-perahu besar dengan muatan yang cukup banyak. Menurut Sudirman, pegawai Puskesmas Mansalong yang menemani kami syuting, perahu-perahu dari Malaysia juga banyak yang datang ke wilayah Indonesia membawa barang dagangan. Selain beberapa kebutuhan pokok, ayam potong yang dijual di Mansalong dan sekitarnya, kebanyakan datang dari peternakan di Malaysia. Pedagang-pedagang dari Malaysia itu terkesan sangat bebas memasuki wilayah Indonesia. Sejauh pemantauan kami, tidak ada petugas yang memeriksa mereka yang datang dari Malaysia. Di Mansalong memang ada pos pemeriksaan bagi pelintas batas, tetapi letaknya cukup jauh dari sungai. Kami tidak tahu bagaimana prosedur pemeriksaan para pedagang dari Malaysia itu. Dalam perjalanan kami dari Mansalong ke Sumentobol yang terletak agak di hulu, kami juga tidak menemukan pos-pos pemeriksaan. Hal itu berbeda dengan perjalanan kami dari Nunukan menuju Mansalong yang melewati Sungai Sebuku, ada pos pemeriksaan oleh Tentara Nasional Indonesia. Kapten kapal harus turun untuk melapor. Mudahnya para pedagang dari Malaysia membawa barang dagangan mereka memasuki wilayah Indonesia melalui sungai, tentu sangat rawan dengan penyimpangan. Bagaimana jika di dalam keranjang-keranjang ayam itu – atau entah di manalah – diselipkan narkoba untuk dipasarkan di Indonesia. Menurut jurumudi perahu yang membawa kami, bisa saja penyelundupan narkoba terjadi, karena pengawasan memang sangat lemah. Yang paling sering masuk ke Indonesia adalah minuman keras dari Malaysia. Jalur ke luar masuk Indonesia – Malaysia di Kalimantan memang sangat mudah ditembus. Bukan hanya melalui sungai, melalui hutan-hutan yang memanjang di perbatasan kedua Negara itu pun sangat mudah dilewati. Beberapa warga Suku Dayak yang tinggal di Lumbis Ogong dan Sumentobol mengaku, mereka sering masuk ke wilayah Malaysia untuk mencari kayu gaharu, yang menjadi sumber kehidupan mereka. Jika tertangkap polisi Malaysia memang berat hukumannya, tetapi sejauh ini melalui jalan-jalan tikus yang mereka ketahui, mereka dengan mudah ke luar masuk Indonesia – Malaysia. “Memang bahaya pak. Tapi demi mencari makan, kami harus melakukan itu,” kata Bagadu, Kepala Desa Semunti, Kelompok Desa Binter, Kecamatan Lumbis. Dugaan begitu mudahnya perbatasan Indonesia – Malaysia ditembus oleh sindikat narkoba, bisa jadi benar. Kapolres Nunukan, Kalimantan Utara AKBP Robert Silindur Pangaribuan kepada wartawan Februari lalu mengatakan, pihaknya yakin masyarakat di daerah itu mengetahui peredaran narkoba yang semakin marak di perbatasan Indonesia-Malaysia itu. Bahkan Panglima Kodam VI Mulawarman, Mayjen TNI Dicky Wainal Usman menilai ancaman serius di wilayah perbatasan Indonesia-Malaysia di Provinsi Kalimantan Utara adalah kegiatan-kegiatan ilegal seperti narkoba dan penyelundupan. "Narkoba ini telah meracuni masyarakat di wilayah perbatasan yang dipasok dari negara tetangga Malaysia," katanya. (herman wijaya/hw16661@yahoo.com)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H