Informasi dari salah seorang politisi di PDIP, keinginan bertemu Megawati menjadi salah satu syarat yang diajukan SBY sebagai upaya rekonsiliasi dan bekerja sama dengan baik di parlemen. SBY membutuhkan dukungan PDIP cs untuk menggolkan Perpu Pilkada yang segera dia ajukan. Sementara PD akan membawa PAN untuk bergabung ke PDIP cs di Parlemen untuk memperkuat posisi Presiden terpilih Jokowi untuk lima tahun mendatang.
Upaya untuk merayu Megawati agar mau bertemu SBY sudah dilakukan berbagai pihak. Namun, Megawati menolak. Bahkan, Jokowi, Jusuf Kalla, dan Surya Paloh telah bertandang ke rumah Megawati di Jl Teuku Umar siang hingga sore tadi untuk berharap agar Megawati mau bertemu SBY demi pembangunan lima tahun mendatang. Tapi, usaha mereka itu gagal, Megawati tetap tidak mau bertemu SBY hingga sidang paripurna DPR dimulai kembali pukul 23.14 WIB setelah waktu konsolidasi partai dicabut oleh pimpinan sidang.
Itulah penggalan berita dari Detik.Com. Membaca berita itu hati benar-benar tersentak. Hanya karena gagal bertemu, dua orang yang sama-sama pernah memimpin bangsa, mempermainkan kehidupan bangsa dan negara dimasa mendatang. Benar-benar perilaku yang tidak masuk akal. Tidak mencerminkan sikap kenegarawanan. Apa salahnya mengenyampingkan ego masing-masing jika untuk kepentingan bangsa?
Secara manusia, Megawati mungkin masih menyimpan dendam atas pengkhianatan SBY, yang meninggalkannya ketika ia menjadi presiden, dan SBY sebagai menterinya. Tetapi itu persoalan lama yang tidak boleh disimpan terus menerus. Sebagai seorang negarawan, apalagi beragama, tentu tidak baik menyimpan dendam terus-menerus. Kalau pun itu, katakanlah, sebagai sikap waspada karena tidak ingin ditelikung untuk kedua atau kesekian kalinya, tetapi memutus silaturahim, apalagi kemudian menyengsarakan rakyat, sungguh suatu sikap yang tidak terpuji.
Sebaliknya SBY juga terkesan egois dan kekanak-kanakan, kalau lantaran Megawati tidak mau bertemu, lantas mengambil sikap yang berakibat fatal bagi perjalanan kehidupan bangsa dan negara ke depan.
Dari pernyataan SBY yang selama ini dapat ditangkap kesan, bahwa ia akan mendukung kinerja penggantinya, Jokowidodo. Entah kalau pernytaan itu hanya lips service, seperti ketika ia mengatakan prihatin dengan keputusan DPR mengesahkan RUU Pilkada tak langsung, tapi tidak bertindak secara nyata untuk menghindarinya.
Jokowi memang membutuhkan dukungan di parlemen. Sebab dengan empat partai pendukungnya yang hanya menguasai 30 persen suara di DPR, bakal banyak kebijakan pemerintahan Jokowi – JK dijegal. Gelagatnya, para penguasa Senayan sekarang ini adalah para politisi yang ingin membalaskan dendam kesumatnya atas pukulan Jokowi pada pemilihan presiden lalu.
Dari komposisi pimpinan DPR bisa dilihat. Setya Novanto adalah politikus kawakan Golkar yang beberapakali diindikasikan terlibat masalah hukum. Mulai dari kasus cesie Bank Bali, hingga pengucuran dana PON di Riau. Selain ingin membentengi dirinya, Novanto juga ingin menjadi bodyguard bossnya, Aburizal Bakrie, yang terancam karena kasus lumpur panas Sidoardjo telah disinggung-singgung oleh Jokowi dalam kampanye Pilpres dulu.
Dua Wakil Ketua DPR, Fahri Hamzah (PKS) dan Fadly Zon (Gerindra) adalah politisi vokal yang berulangkali menkritik, bahkan melecehkan Jokowi dalam Pilpres lalu. Kedua orang ini dipastikan punya agenda besar untuk mengganjal Jokowi melalui parlemen. Kita mungkin masih ingat dengan tweet Fahri Hamzah yang menyebut Jokowi “sinting” karena ingin menjadikan 1 Muharram sebagai Hari Santri Nasional.
Jika agenda besar Koalisi Merah Putih di DPR berjalan sesuai skenario, Jokowi akan mengalami kesulitan menjalankan pemerintahan. Dan pada gilirannya, rakyat juga yang akan sengsara. Bisa dilihat, baru saja pemilihan Ketua dan Wakil Ketua DPR berlangsung, indeks saham gabungan langsung merosot. Begitu juga nilai rupiah terhadap dolar.
Kalau ke depan kedua elemen ekonomi itu terus mengalami kemerosotan, maka tidak tertutup kemungkinan Indonesia akan mengalami krisis ekonomi seperti pada tahun 1997. Bila krisis ekonomi benar-benar terjadi, bisa dibayangkan apa yang akan terjadi dengan bangsa ini. Itukah yang diinginkan para dedengkot Senayan yang baru?