Serombongan anak muda yang terdiri dari 20 mahasiswa dari Universiteit Leiden berkunjung ke Indonesia bulan Oktober ini. Tepatnya yang datang itu adalah De studievereniging Nieuw Nederlands Peil (semacam perhimpunan pelajar jurusan Belanda). Mereka memang mahasiswa jurusan bahasa dan budaya Belanda di Universiteit Leiden yang berumur rata-rata 20-an tahun. Ada beberapa kota di Jawa yang mereka kunjungi: Jakarta, Bandung, Semarang dan Yogyakarta. Mereka baru pertama kali datang ke Indonesia dan semuanya diurus sendiri. Ketika berkunjung ke Jakarta, mereka menyempatkan untuk mampir ke Rangkasbitung. Tujuannya melihat jejak Multatuli penulis buku Max Havelaar. Tentunya kunjungan mereka ke Indonesia berkaitan dengan adanya institusi yang mengajarkan bahasa Belanda. Ditambah lagi keterkaitan dengan jejak Multatuli yang dalam 1001 Books you must read before you die (2006) menempatkan Max Havelaar sebagai salah satu buku yang wajib dibaca sebelum meninggal dunia. Salah satu hal menarik adalah kesan mereka tentang Indonesia. Seperti lazimnya mereka yang baru datang di Indonesia, mereka menyebut keramahan dan sambutan hangat yang mereka terima. Hal yang tak luput dari pengamatan mereka adalah lalu lintas Jakarta. Jordi van der Torre, salah satu dari mereka berkomentar mengenai lalu lintas Jakarta. "Chaos!," komentarnya. "Sepeda motor, angkutan umum dan mobil saling berebut." Lalu dia bertanya: "Apakah di sini tidak ada peraturan lalu lintas?" Saya menjawab: "Peraturan ada tetapi ketika di jalan, masing-masing orang tidak lagi mematuhinya. Semuanya berdasar pada ego masing-masing." Jujur saya, saya sendiri ngeri jika membayangkan suasana lalu lintas Jakarta pada jam-jam sibuk. Belum lagi polusinya. Enam tahun yang lalu saja, saya nyaris pingsan karena terlalu lama di jalanan ibukota. Beruntung, saat ini saya tidak perlu mengalami kemacetan, kekisruhan lalu lintas di Jakarta pada jam-jam sibuk. Saya membayangkan empat belas tahun silam ketika pertama kali menginjakkan kaki di Belanda. Di tanah air ketika harus menyeberang jalan saya harus menunggu kendaraan yang lewat. Di sana justru sebaliknya, kendaraan lah yang menunggu kita menyeberang dengan sabar. 'Gegar budaya' yang sempat membuat saya kaget. Untung ketika kembali ke tanah air yang kembali 'sadar' dan kembali pada kebiasaan semula. Apalagi sekarang. Ketika menyeberang, jangan harap para pengendara kendaraan bermotor akan mengalah. Padahal kita sudah menyeberang di zebracross. Seorang teman membandingkan upaya menyeberang dengan permainan video game, Free Way, dengan tokoh para ayam yang berusaha menyeberang jalan. Saya membayangkan apa yang akan diceritakan Jordi pada teman-temannya di Belanda sana mengenai situasi chaos lalu lintas di Jakarta. Apakah dia kapok atau justru menganggapnya tantangan plus uji nyali. foto: http://nasional.kompas.com/read/2009/ Yuniadhi Agung
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H