Mohon tunggu...
Achmad Sunjayadi
Achmad Sunjayadi Mohon Tunggu... profesional -

Orang biasa yang ingin melakukan hal luar biasa

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Buruh

30 April 2012   23:39 Diperbarui: 25 Juni 2015   05:54 782
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
13358289521043936703

Saya bukan Marxis tetapi bila melihat dan mendengar kata “buruh” ingatan melayang pada teori-teori Karl Marx yang terkenal. Terutama teori-teori yang menunjukkan kelemahan liberalisme dan kapitalisme yang merugikan kaum buruh. Beruntung, saya sempat mengkaji teori-teori Marx yang di masa Soeharto mungkin harus dilakukan diam-diam dan rahasia persis transaksi narkoba. Pun saya bukan buruh atau aktivis buruh walaupun sama-sama menerima gaji tetapi saya mampu merasakan keresahan mereka terhadap revisi UU Ketenagakerjaan No. 13 tahun 2003 yang dianggap merugikan mereka. Apalagi di tengah situasi sulit seperti sekarang. Dan tanggal 1 Mei ini pun tak ada salahnya buruh 'merayakan' hari mereka.

Namun, kalau kita tanyakan pada Wakidu atau Sudin, para buruh yang ikut mogok dan berdemo, apakah mereka mengenal the theory of surplus value (teori nilai lebih) atau konsep alienasi (keterasingan) dari Marx. Mereka pasti cengengesan karena bingung. Jangankan teori dan konsepnya, kalau kita perlihatkan foto Karl Marx yang brengosan dan berambut gondrong pada mereka, jangan-jangan mereka menyangka itu foto “orang tua” yang menjadi merek anggur terkenal. Pada dasarnya, para buruh itu hanya menuntut nasib mereka. Nasib yang berada di tangan kaum majikan. Nasib yang tidak menentu dan tidak akan berubah hingga akhir hayat. Selebihnya, mungkin mereka berkata: “Biar menjadi urusan bapak-bapak, ibu-ibu, mas-mas dan mbak-mbak yang “pinter” membahas, membicarakan, atau meneliti kami sampai puas”.

Namun jangan salah, ada pula di antara para buruh yang melek telah haknya, sadar dan mengetahui apa yang dituntut. Tidak sekedar ‘gelap mata’, menuruti arus demo tanpa tahu tujuannya. Sekedar ikut meramaikan dan merayakan daripada terkungkung dalam pabrik yang ‘mengalienasi’ mereka.

Kata buruh sendiri cukup menarik ditelaah. Kata buruh pada masa pemerintahan Soeharto menjadi momok karena dianggap ke-kiri-kirian. Tidak jarang para aktivis buruh langsung dicap kiri atau komunis serta dianggap subversif karena dianggap mengganggu stabilitas dan keamanan negara. Hal ini tidak terlepas dari keterlibatan kaum buruh dalam politik di masa sebelumnya (masa Soekarno dan masa kolonial).Oleh karena itu kata karyawan, pegawai atau pekerja dianggap lebih “aman” dibanding buruh. Di samping itu kata buruh dianggap rendah dan tidak bergengsi. Simak saja perpaduan kata buruh pelabuhan, buruh tambang, buruh kasar, buruh tani yang sama dengan kuli karena hanya mengandalkan tenaga fisik dan tidak perlu menggunakan keahlian alias otak.

Di antara tumpukan berkas-berkas almarhum ayah saya, saya menemukan kartu tanda pengenal ayah saya. Semacam kartu pas masuk pelabuhan. Status pekerjaan yang tertera di sana ‘buruh’. Namun, seingat saya, almarhum saya tidak sekedar menggunakan ototnya untuk menghidupi kami sekeluarga. Beliau juga menggunakan otak dan terbukti dalam kartu nama yang beliau miliki terpampang tulisan ‘direktur’, sebuah perusahaan yang beliau miliki sendiri di daerah Pintu Besar, Kota. Saya masih ingat ketika kami mengadakan syukuran kecil-kecilan di sana. Belum genap 6 tahun usia saya ketika itu.

Lucunya, kita menggunakan istilah pekerja seks komersil (PSK) dan bukan buruh seks komersil. Padahal, mungkin jenis pekerjaannya tidak jauh berbeda karena mengandalkan fisik belaka, tidak memerlukan keahlian khusus. Bisa jadi kata pekerja digunakan karena sebenarnya pekerjaan itu memang memerlukan keahlian khusus, bahkan ada yang berpendidikan perguruan tinggi Namun, jangan salah di Belanda pekerjaan ini legal dan mereka harus membayar pajak. Bahkan ada kesempatan cuti dan berlibur pula. Dalam sejarah banyak pula hal menarik yang berhubungan dengan kaum yang oleh aktivis buruh masa kolonial, Mas Marco Martodikromo disebut kaum sama rata sama rasa ini. Pemogokan demi pemogokan yang dilakukan oleh kaum buruh pada tahun 1920-an membuat pemerintah kolonial Hindia Belanda terpaksa mengeluarkan undang-undang larangan mogok yang dikenal dengan artikel no.161 bis pada 10 Mei 1923. Namun, undang-undang tersebut tidak mampu menahan gejolak arus pemogokan yang melanda pabrik-pabrik dan onderneming-onderneming di Jawa sehingga dikeluarkanlah peraturan baru yaitu artikel no.153 bis dan 153 ter yang tertuang dalam besluit (keputusan) raja 1 Mei 1926. Para founding father kita pun sebenarnya adalah aktivis buruh. Seperti Dr. Soetomo yang membentuk Serikat Kaum Boeroeh Indonesia (SKBI) pada 8 Juli 1928 di Surabaya. Sayang organisasi ini hanya bertahan selama setahun karena pada 1 April 1929 menggabungkan diri dengan “Liga Menentang Kolonialisme serta Penindasan” yang dianggap berbahaya oleh pemerintah kolonial sehingga SKBI dibubarkan. Atau kakak Ki Hajar Dewantoro, R.M. Suryopranoto aktivis Persatoean Pergerakan Kaoem Boeroeh (PPKB) yang dikenal dengan sebutan “Raja Mogok”. Demikian pula Sutan Sjahrir yang tahun 1934 menerbitkan pamflet Pergerakan Sekerdja. Buku kecil ini memuat ceramahnya di depan Persatoean Boeroeh Kereta Api Indonesia. Sjahrir menjelaskan tentang “nilai lebih”,”upah nominal-upah riil” yang berguna membangkitkan kembali gerakan buruh. Alasannya, menurut Sjahrir di dalam masa kemerdekaan kelak belum tentu kaum buruh juga merdeka. Ketidakberdayaan kaum buruh mungkin disebabkan oleh ketidaktahuan atau ketidak ingintahuan terhadap nasib mereka sendiri. Sebenarnya yang mampu merubah nasib mereka adalah diri mereka sendiri. Tidak sedikit kisah sukses yang pernah kita baca atau dengar. Mereka yang dahulunya berstatus buruh nasibnya berubah menjadi majikan dan bos. Tentunya, itu tergantung dari kemauan mereka sendiri karena siapa lagi yang mampu mengubah nasib selain diri mereka sendiri. Sebenarnya buruh pun bukanlah pekerjaan yang remeh atau hina. Dibandingkan menjadi penganggur yang dapat menumpulkan daya nalar dan mengaktifkan otak kriminal. Bayangkan saja jika para buruh tidak ada, apakah kita sehari-hari dapat melakukan aktivitas dan menikmati semua ini. Misalnya jalan tol yang kita lewati setiap hari, siapa yang membangun. Lalu sepatu olahraga merek Korea yang kita kenakan sewaktu jogging, siapa yang menjahit. Televisi lisensi dari Jepang yang menyiarkan siaran langsung pertandingan sepak bola, siapa yang merakit. Bahkan tusuk gigi untuk menyungkil sisa-sisa daging tongseng santap siang di warung dekat kantor, siapa yang memotong. Ya, semua itu adalah hasil pekerjaan kaum buruh. Memang benar pernyataan Karl Marx bahwa sepanjang sejarah umat manusia hanya ada dua kelas, kaya dan miskin. Dua kelas itulah yang berkonflik sampai sekarang. Si kaya berupaya mempertahankan status kelasnya dan si miskin berupaya meningkatkan statusnya. Para buruh yang mayoritas miskin tentu berupaya bertahan hidup dan jika beruntung naik kelas menjadi golongan kaya. Caranya, tentu bukan dengan revolusi yang lebih condong anarki seperti anjuran Marx. Revolusi yang lebih berguna adalah revolusi cara berpikir untuk tidak mau seumur hidup menjadi buruh. Karena buruh akan tetap menjadi buruh yang tidak akan berubah nasibnya. Yang berubah adalah individu-individu yang menyandang status itu. Lagipula buruh masih selalu diperlukan seperti yang diungkapkan oleh Sutan Syahrir : “Als iedereen wil baas worden, wie zal werken?” (Jika semua orang ingin menjadi bos, lantas siapa yang akan kerja? ). Oleh karena itu, hai kaum buruh bersatulah tapi jangan anarki, lalu ubahlah nasib kalian, supaya tidak terus menerus hidup tertekan.

Artikel ini pernah dimuat di www.kabarindonesia.com dan ada beberapa tambahan

sumber foto: Para buruh perempuan di perusahaan pengolahan singkong di Hindia-Belanda sebelum 1924 (koleksi Tropenmuseum Amsterdam)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun