Mohon tunggu...
Achmad Sunjayadi
Achmad Sunjayadi Mohon Tunggu... profesional -

Orang biasa yang ingin melakukan hal luar biasa

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Wilhelmus

20 Maret 2012   09:04 Diperbarui: 25 Juni 2015   07:42 113
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

1

10 Juli 1584

Biara Sint-Aagten,

Prinsenhof, Delft.

Mon dieu, ayez pitié de mon ame, ayez pitié de ce pauvre peuple .’ ‘Tuhanku, kasihanilah jiwaku, kasihanilah rakyatku yang malang.’Kata-kata terakhir ini terucap dari mulut seorang pria yang akan diusulkan menjadi Graaf van Holland. Willem van Oranje menghembuskan nafas terakhir setelah lontaran peluru yang ditembakkan dari pistol Balthazar Gerards, seorang penganut Katholik Roma mengenai dadanya.

10 Juli 2007

Delft.

Seorang pria berjalan terburu-buru. Suatu hal yang aneh di musim panas. Biasanya jika matahari muncul, maka orang-orang sengaja menikmatinya. Berjalan lambat-lambat sambil menjilati es krim, berjemur di taman kota atau duduk di teras kafe sambil mengobrol.

Wajah pria itu tampak serius. Tubuhnya langsing tak terlalu berisi dan cenderung kurus. Rambut hitamnya agak panjang nyaris menutupi telinga.

Ia sengaja menghindari keramaian turis. Ia melewati Binnen Water Singel, menyeberangi Oude Delft dan berbelok menyusuri Choorstraat. Di sebuah toko berpapan nama : Antiquariaat de Rijn, pria itu masuk.

Bel di pintu bergemerincing.

Sebuah topeng asal Bali tergantung di dekat pintu. Seperti miliknya di rumah. Di sebelah topeng itu ada hiasan dinding dari Jepang atau China.

“Selamat siang, pak!” sapa suara dari balik lemari.

“Eh, selamat siang!” jawab pria itu.

“Musim panas yang menyenangkan,” seorang pria berambut keputihan dengan kemeja lengan pendek putih muncul dari balik lemari.

“Begitulah,” pria itu menjawab acuh.

“Perkenalkan nama saya Andreas de Rijn. Ada yang bisa saya bantu, mungkin Anda mencari sesuatu?” pria itu menjulurkan tangannya mengajak bersalaman.

“Ehm…Willy van Kemp.Apakah benar Anda yang memasang iklan di Telegraf ?”

“Iklan apa, ya?”

Pria itu mengeluarkan sobekan koran dari kantong jaketnya dan menyerahkan pada Andreas.

“Ini”

Andreas mengambil kaca-mata baca dari saku bajunya. Lalu membaca sobekan koran itu.

“Betul, saya yang memasangnya.”

“Bisa saya melihat benda itu?” ujar Willy tak sabar.

Andreas menatap Willy.

“Sepertinya Anda terlambat. Kemarin, seorang pria dan wanita membelinya. Kelihatannya mereka punya banyak uang. Pembayaran dilakukan secara kontan. Tanpa menggunakan jasa perbankan. Suatu hal yang penuh resiko. Lima ratus ribu Euro. Bukan jumlah yang sedikit.”

Willy tampak lemas. Usahanya sia-sia. Benda itu sudah berada di tangan orang lain. Kalau saja dia tak harus meladeni Professor Boers yang cerewet, benda itu sekarang sudah berada di tangannya.

“Mungkin ada benda lain yang menarik minat Anda. Kami punya berbagai koleksi menarik lainnya. Yang tak kalah berharganya. Ada injil kuno, ada mata uang, ada...,”

“Bolehkah saya tahu siapa nama pembeli benda itu?” Willy seolah tak mendengar ucapan Andreas.

“Hmm…Anda benar-benar tertarik dengan benda itu, ya?”

“Begitulah.”

“Sebentar saya lihat dulu.”

Andreas masuk ke ruang kecil di sebelah.

Willy menghembuskan nafas. Kalau saja dia tak meladeni diskusi omong kosong dengan Professor cerewet itu. Kalau saja dia sehari lebih cepat. Kalau saja….dia mengutuki keterlambatannya.

“Ah…ini dia!” teriak Andreas.

Willy semakin tak sabar. Perasaannya tak menentu. Mungkinkah dia bisa mendapatkan benda itu. Berapa pun harganya.

Andreas memberikan selembar kertas pada Willy.

Gerardo Bundchën

“Nama Jerman?” pikir Willy heran.

“Orang Jerman?” tanya Willy.

“Sepertinya begitu. Tapi Bahasa Belandanya bagus. Accentloos. Tak ada tanda-tanda dia orang Jerman. Saya pun awalnya mengira dia berasal dari Belanda. He…he…he…!” Andreas terkekeh.

“Yang wanita memang beraksen Jerman. Bahasa Belandanya kacau.”

“Anda tak curiga?” tanya Willy.

“Curiga apa?”

“Mereka membawa uang begitu banyak dan tidak menggunakan jasa perbankan,”

“Bisnis sedang lesu, Pak!” tukas Andrean.

“Saya akan pindah ke Belgia Mencari usaha lain. Lagipula vila saya di Spanyol butuh perbaikan, ” sambungnya sambil menepuk-nepuk perutnya.

Willy mengerti. Belgia negeri bebas pajak yang menjadi tempat “pelarian” para pebisnis untuk menghindari pajak yang gila-gilaan di sini. Sedangkan Spanyol, tempat liburan musim panas yang ideal. Pamannya pun memiliki satu vila di sana.

“Omong-omong, jika Anda yang berkesempatan mendapatkan benda itu apakah Anda mampu membayar sebanyak mereka?” tanya Andreas.

Pertanyaan yang membuatnya terkejut. Ia tak mengira mendapat pertanyaan seperti itu. Benar juga, berapa dia harus membayar harga sebanyak itu.

“Euh…Aku punya simpanan di bank. Jumlahnya dua kali lipat dari uang mereka.”

Willy berbohong. Sebenarnya sisa uang simpanannya hanya sepersepuluh harga benda yang dibayarkan itu. Ia pun tentu tak mampu membayar benda itu jika dia harus membelinya.

“Menyenangkan jika masih muda punya banyak uang, ya,” kata Andreas.

“Begitulah. Itu warisan dari kakekku, ” jawab Willy sekenanya.

“Kakek yang kaya dan cucu yang beruntung, he..he...he...” Andreas terkekeh-kekeh.

Willy benci orang yang tertawa terkekeh-kekeh. Nadanya seperti mengejek dirinya.

“Boleh aku tahu di mana alamat mereka?”

“Rupanya Anda anak muda yang gigih, ya?”

“Itu juga warisan dari kakekku.”

“Baiklah, tunggu sebentar”Andreas masuk lagi ke kamar di sebelah.

Kakek yang kaya. Huh, umpat Willy dalam hati. Harta apa yang diwariskan si pemabuk tua itu pada cucunya. Hutang yang bertumpuk dan beberapa hipotek yang harus ditebus. Hingga rumah yang terpaksa disita bank dan dia sekarang tinggal di rumah jompo gratis, khusus bagi orang miskin. Kakek kaya.

“Ini, pak!”

Hotel Victoria Park Plaza

Damrak 1-5

Amsterdam

Room 422

Hm, dekat dengan stasiun. Hanya sepelemparan baru dari Centraal Station Amsterdam.

“Hanya ini?” tanya Willy.

“Yah, hanya ini.”

“Mungkin sekarang mereka sudah kembali ke Jerman atau entah ke mana.”

Willy mengumpat dalam hati. Dia mengutuki dirinya.

“Anda tak tak takut mereka memberikan uang palsu?” Willy mencoba menutupi perasaannya yang kecewa.

“Uangnya asli.”

“Kalaupun ada yang palsu. Aku sudah menghitung hingga dua ratus ribu, itu asli semua.”

“Anda tahu, saya membeli benda itu hanya empat ribu Euro,” kata Andreas sambil mengacungkan empat jarinya.

“Seorang wanita tua datang padaku dan menjual benda itu. Dia menawarkan lima ribu Euro. Kutawar empat ribu dan kuberikan bonus beberapa porselen China. Dia setuju. He..he..he...,” Andrean terkekeh-kekeh.

Willy semakin kesal. Kalau saja dia yang lebih dahulu menemukan wanita itu. Dia akan langsung bayar dengan uang simpanannya. Pikirannya semakin kalut.

“Terima kasih, Pak atas waktunya,” Willy pamit pada Andreas.

“Maaf, Anda belum beruntung. Semoga hari Anda akan menyenangkan. Sampai jumpa.”

Tot ziens !”

Willy berjalan gontai. Tak terburu-buru seperti tadi ketika sebelum masuk ke toko barang antik.

Dia tak tahu ke mana ia memburu benda itu. Benda yang mungkin akan mengubah nasibnya atau juga sejarah.

Lembaran kertas bertulis nama dan hotel dibukanya.

“Ah, siapa tahu nasibku baik,” gumamnya.

Dia menuju ke telefooncel. Telepon umum di pinggir kanal. Ponselnya tertinggal di kamar ketika dia bergegas pagi tadi.

Willy menekan nomor Hotel Victoria.

“Selamat siang. Hotel Victoria. Ada yang bisa dibantu?”

“Selamat siang. Anda bicara dengan Willy van Kemp. Dapatkah saya disambungkan dengan kamar 422?”

“Kamar 422. Atas nama Gerardo Bundchën?”

“Betul! Herr Bundchën”

“Mereka sedang tidak ada. Tadi pagi mereka menitipkan kunci di sini. Mungkin sedang berjalan-jalan menikmati Amsterdam.”

Satu titik terang.

“Mereka belum check out?”

“Belum.”

Willy semakin bersemangat. Masih ada kesempatan mendapatkan benda itu.

“Baiklah.”

“Ada pesan, pak?”

“Tidak. Saya akan segera ke sana saja. Dia teman lama saya. Sudah lama kami tak bertemu.”

“Baiklah kalau begitu. Selamat siang, Pak!”

“Terima kasih. Selamat siang.”

Willy bersorak. Dia bergegas menuju stasiun. Langkahnya terburu-buru seperti tadi.

Masih ada waktu. Willy melirik arlojinya. Pukul 12.10. Willy bergegas menuju stasiun. Ia menaiki tangga. Hanya ada 2 spoor di stasiun Delft. Ia masuk ke spoor 1 menunggu kereta menuju Amsterdam. Kebetulan yang menyenangkan. Ia berangkat dari Amsterdam dan sekarang tanpa perlu membeli tiket lagi. Tadi ia sudah membeli dagretour tiket. Tiket pulang pergi. Lebih murah dibanding enkele reis. Tiket sekali jalan. Menurut jadwal, kereta menuju Amsterdam tiba pukul 12.24. Perjalanan memakan waktu kurang lebih sejam. Willy menghembuskan nafas ketika kereta memasuki peron. Masihkah ia memiliki kesempatan mengejar kedua orang itu?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun