Risalah Batu-Batu
Kadang aku tak sanggup
Menaklukkan batu-batu jiwamu
Lantaran engkau tak jua
Meninggalkan irisan luka kata
Yang datang dari seberang
Ketaksanggupan adalah keniscayaan
Yang tidur pulas memelukku erat
Apa dan siapa diriku? Lalu
Ketakmengertian itu membuat
Kemenyatuan pena dengan darahku
Walau kau anggap puisi sebuah kemiskinan
Lantaran aku penyair
Kau menuduhku tak memiliki apa-apa
Penyair adalah apa-apa
Penyair adalah separuh semesta
Dan separuhnya adalah kata-kata
Lalu, dimanakah tuhan?
Tuhan adalah kemenyatuan penyair dan kata-kata
Masihkah kau tak percaya
Kalau aku orang hebat
Yang mampu menaklukkan semesta
Hanya dengan kata-kata
Yogyakarta, 2009
Adalah Engkau
Engkau bisa mencari dari atas
Dari bawah bahkan dari tengah-tengah
Sehingga menemukan perjumpaan
Di dalam kata-kata
Jendela sudah terbuka
Jendela yang di sukai banyak penyair
Tapi sudahkah kita bertanya
Terhadap keberhasilannya itu?
Keberhasilan mendapat pengetahuan
Keberhasilan mencari perjuampaan?
Engkau boleh sombong
Asal masih ada sebiji sadar di jiwamu
Yang mampu membiaskan rona bintang
Melebihi jejak perjalanan penyair
Adalah engkau yang memberi rasa
Bagi mereka yang miskin dan yang tak tersentuh penguasa
Penyair adalah orang pertama yang memberi bantuan
Memberi tanpa laba
Membantu tanpa ada unsur apa-apa
Kini, dunia semakin luas hanya dalam diri
Yogyakarta, 2009
Negeri Tanpa Moral
Tetes hujan
Memecah malam menemani lelap
Aku tidur bersama dingin
Memeluk perasaan gelisah
Melihat TV siaran para pencuri
Tidurku tak lelap dalam mimpi
Aku melihat pencuri itu mati
Di makan curiannya sendiri
Mimpi sebuah negeri
Yang terlalu banyak orang tidak tahu malu
Tersenyum manis hanya untuk kekuasaan
Berkata lembut hanya untuk UUD
Bertindak sopan hanya untuk fasilitas serbaada
Cita-cita negeri indah
Hanya terlihat di tepi mimpi-mimpi
Karena mereka selalu tidur
Siang tidur
Malam apa lagi
Aku malu hidup di negeri para pencuri
Aku ingin menjadi penyair yang kaya
Tapi tak mencuri apa-apa dari rakyat
Cita-cita yang agung
Tak terlihat seperti duit
Ia tiba-tiba mengapung dalam jiwa
Menjelma menjadi rasa
Untuk semua bangsa yang tertindas
Dan tanpa moral
Yogyakarta. 2009
Tahun Baru Tanpa Guru Bangsa
Kita semua tak cukup hanya mengucapkan turut berduka cita
semua pemimpin mengatakan demikian
kata-kata tak cukup hanya di ucapkan di lidah, tapi
kenyataan lebih penting untuk dilaksanakan
kenyataan adalah praktik kedewasaan kita
kenyataan adalah bukti sah menjadi pemimpin
bukan wacana, bukan janji juga bukan hukum
sudah kita berbuat seperti yang di contohkan sang guru?
Yogyakarta, 30 Desember 2009
Sebatas Batu Prasangka
Sebatas batu prasangka
Yang lama terkikir masa
Yang belum menginjakkan kaki keberangkatan
Untuk pulang bersama mahakarya semesta
Kini, balasan puisi terjawab dengan indah
Melalui penyair-penyair dunia
Kau harus tuliskan satu huruf yang baru lahir
Karena dia akan menjadi penyampai pesan puisi berikutnya
Berdialog dengan tubuh, berdialog dengan jiwa
Maka lahirlah anak kata-kata sebagai makna
Prasangka akan menjadi nyata
Ia tidak kosong, ia begitu bermakna
Segalanya seperti batu
Keras penuh bintik-bintik keindahan
Yogyakarta, 2010
Sumber: Antologi Puisi Mazhab Kutub
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H