Oleh: Matroni Muserang*
Seperti yang kita ketahui bersama bahwa Indonesia adalah bangsa yang kaya, tetapi pemerintahnya masih punya banyak hutang, rakyatnya pun dalam kemiskinan. Sejak zaman pemerintahan kerajaan, kemudian zaman penjajahan, dan hingga zaman modern dalam pemerintahan NKRI dewasa ini, kehidupan rakyat tetap miskin. Akibatnya, kemiskinan yang berkepanjangan telah menderanya, sehingga menumpulkan kecerdasan dan masuk dalam kungkungan keyakinan mistik, fatalisme, dan selalu ingin mencari jalan pintas (instan).
Kepercayaan terhadap pentingnya kerja keras, kejujuran, keadilan dan kepandaian semakin tergeser, tergusur karena realitas dalam kehidupan masyarakat menunjukkan yang sebaliknya, banyak mereka yang kerja keras, jujur dan pandai, tetapi ternyata bernasib buruk hanya karena mereka datang dari kelompok yang tidak beruntung, seperti para petani, kaum buruh, dan guru. Sementara itu, banyak yang dengan mudahnya mendapatkan kekayaan hanya karena mereka datang dari kelompok elite atau berhubungan dekat dengan para pejabat, penguasa, dan para tokoh masyarakat.
Akibatnya, kepercayaan rakyat pada rasionalitas intelektual menurun karena hanya dipakai para elite untuk membodohi masyarakat. Sebaliknya, mereka lebih percaya adanya keuntungan yang digerakkan oleh nasib sehingga perdukunan dan perjudian dalam berbagai bentuknya semakin marak di mana-mana. Mereka memuja dan selalu mencari jalan pintas untuk mendapatkan segala sesuatu dengan mudah dan cepat, baik kekuasaan maupun kekayaan. Korupsi lalu menjadi budaya jalan pintas dan masyarakat menganggap wajar memperoleh kekayaan dengan mudah dan cepat.
Budaya korupsi seakan memperoleh ladang yang subur karena sifat masyarakat kita sendiri yang lunak sehingga permisif terhadap berbagai penyimpangan etika dalam masyarakat. Karena itu, korupsi dianggap sebagai perkara biasa terjadi dalam kehidupan para penguasa dan pengelola kekuasaan yang ada. Sejak dahulu, para penguasa dan pengelola kekuasaan selalu cenderung korup karena bisnisnya, kekuasaan itu sendiri. Penguasa bukanlah pekerja profesional, yang harus pintar, cerdas, dan rajin, tidak digaji mereka mau asal mendapatkan kekuasaan karena kekuasaan akan mendatangkan kekayaan dengan sendirinya.
Budaya Kemiskinan
Budaya kemiskinan adalah satu sosok budaya kolektif, satu pola gaya hidup yang dikonstruksi secara induktif melalui kumulasi perilaku, pola sikap, orientasi nilai dan makin abstrak ke pola kognitif, pikiran, pilihan hidup dan menjadi satu pola gaya hidup.
Budaya kemiskinan merupakan fakta psiko-kultural yang terkonstruksi secara sosial. Budaya kemiskinan dengan karakteristiknya yang konsumtif, kontra produktif, moh berubah dan merasa nyaman dalam kemiskinan bersama harus dicegah, dibatasi dan direformasi melalui perbaikan ekonomi, penyadaran kultural, penguatan struktur dan rehabilitasi mental.
Tingkat korupsi yang tinggi dapat menyebabkan kemiskinan setidaknya untuk dua alasan. Pertama, bukti empiris menunjukkan bahwa tingkat pertumbuhan ekonomi yang tinggi berkaitan dengan tingkat pengurangan kemiskinan yang tinggi pula (Ravallion dan Chen, 1997). Oleh karena itu, korupsi akan memperlambat laju pengurangan kemiskinan karena korupsi akan menghambat laju pertumbuhan ekonomi. Kedua, ketimpangan pendapatan akan berefek buruk terhadap pertumbuhan ekonomi (Alesina dan Rodrik 1994; Persson dan Tabellini, 1994). Korupsi juga dapat menyebabkan penghindaran terhadap pajak, administrasi pajak yang lemah, dan pemberian privilese yang cenderung berlebih terhadap kelompok masyarakat makmur yang memiliki akses kepada kekuasaan. Korupsi juga dapat memengaruhi sasaran program-program sosial kepada masyarakat yang benar-benar membutuhkan.
Korupsi dan kemiskinan adalah dua patologi sosial yang saling berkaitan bagai matahari dan sinarnya. Bisa dikatakan, salah satu penyebab kemiskinan di negeri ini adalah merajalela dan menggilanya budaya korupsi di semua sektor kehidupan. Mengapa? Sebab, kita tentu kenal, potensi dan kekayaan negeri ini seharusnya tidak membuat rakyat menjadi miskin (mengalami kemiskinan). Malah justru sebaliknya. Pengangguran, gelandangan, dan pengemis semakin hari kian banyak dan bertebaran di setiap sudut kota.
Dalam konteks ini, jika wacana bahwa kemiskinan diakibatkan olehbudaya dan penyakit korupsi, bisa dibayangkan betapa Indonesia akan bebas dari penyakit kemiskinan ketika benar-benar korupsi bisa diberantas atau setidaknya ditekan hingga ke titik penyelesaian (di kubur).
Terkait dengan kemiskinan dan korupsi yang terus menghiasi bangsa kita, mudah-mudahan tidak banyak orang yang mulai bosan dan lelah berbicara masalah tersebut serta upaya dalam pemberantasannya. Sebab, kemiskinan dan korupsi di negeri yang tak pernah usai, baik dari sisi jumlah maupun kasus yang terjadi dari tahun ke tahun.
Melihat dampak korupsi yang mengekalkan kemiskinan tersebut, bagi saya, semua pihak perlu bersatu padu merebut peran dalam upaya pemberantasan korupsi. Dalam konteks semacam ini, mungkin yang lebih tepat kita melakukan jihad melawan korupsi dan kemiskinan. Jihad yang selama ini hanya dipahami sebagai mati di medan perang kini bisa dimaknai sebagai upaya sungguh-sungguh dalam memberantas korupsi demi kemajuan bangsa.
Sebuah bangsa yang memiliki fondasi pembangunan yang kokoh, selalu memiliki syarat mutlak berupa kedaulatan atas pangan bagi rakyatnya dan mampu mengakomodasi setiap bentuk kapasitas rakyat dalam pembangunan untuk menciptakan sebesar-besarnya kesejahteraan rakyat. (HS. Dillon, 2003). Sayangnya dalam sejarah pembangunan Indonesia, dua syarat mutlak tersebut tidak pernah diwujudkan oleh para pengambil kebijakan (Decision Makers) sehingga walaupun pembangunan di Indonesia katanya pernah mencapai pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan disebut-sebut telah memasuki gerbang Negara industri, nyatanya hingga kini penduduk miskin jumlahnya tetap banyak (bahkan terus bertambah banyak), sementara para koruptor semakin merajalela.
Berdasarkan fakta yang telah dipaparkan diatas, maka pada akhir tulisan ini dapat ditarik suatu titik simpul bahwa kemiskinan dan korupsi sesungguhnya merupakan dua issue mandiri. Masing-masing mempunyai substansi yang berbeda, namun kedua issue ini kalau dikaji secara kritis memiliki keterkaitan yang sulit dipisahkan. Kedua issue ini memiliki hubungan kausalitas dan harus diakui bahwa pada konteks Indonesia korupsilah yang menyebabkan kemiskinan dan bukan kemiskinan menyebabkan korupsi. Untuk itu, apabila ingin mengatasi persoaalan kemiskinan di Indonesia, otomatis pemberantasan korupsi adalah sesuatu yang mutlak diperlukan dan sangat urgen, sehingga tidak dapat di tunda-tunda lagi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H