Malam ini, aku pulang lebih awal. Selain karena hari ini aku bekerja cukup padat, si pemilik toko ingin menutup tokonya lebih cepat. Mungkin karena ia akan berangkat haji besok. Jadi aku memutuskan untuk berjalan lebih lama lagi, sengaja mencari halte yang sedikit lebih jauh.Â
Aku berdiri di bawah pancaran lampu jalan yang berwarna kuning, serta memperhatikan gerak-gerik dua orang anak diseberang sana. Yang tubuhnya lebih besar memberikan sepotong roti pada adiknya yang merengek sambil memegangi perutnya. Sang kakak tampak lelah namun tetap mengelus puncak kepala adiknya yang sedang makan dengan lahap itu.
Jadi teringat kakakku yang sedang merantau jauh disana. Dia memang galak, namun tak pernah absen membelikanku oleh-oleh dari kota tempatnya bekerja. Aku juga jarang mengungkapkan rasa sayangku padanya. Tapi, dia juga. Apakah aku pernah dielus seperti itu olehnya? Tidak ada. Adanya aku dijitak.Â
Penglihatanku tertutup oleh benda kubus yang bergerak itu. Aku pun naik dan menduduki salah satu bangku disamping jendela. Saat bis itu berjalan, aku menoleh ke samping ke tempat dua anak itu berada namun nihil. Tak ada satu pun disana. Bahkan aku sudah celingak celinguk mencari keberadaannya dan tetap tidak ada juga. Bagaimana mungkin dua anak kecil berbaju lusuh itu bisa pergi begitu cepat selama aku melangkah memasuki bis ini?
Di tempat lain, seseorang sedang mengamati sobekan koran yang mulai menguning. Wajahnya sendu membaca rentetan kalimat berita itu. Kemudian mulutnya berucap lirih, "Apa kabarmu dik? Dulu kau merengek meminta roti namun sekarang kau pergi menjaga toko roti milik Ayah?"
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H